PENGARUH HUKUM TERHADAP
POLITIK
Oleh : Joni Sandra, dkk
Mahasiswa Magister Hukum Kebijakan Publik Universitas Internasional Batam
Oleh : Joni Sandra, dkk
Mahasiswa Magister Hukum Kebijakan Publik Universitas Internasional Batam
A.
Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia
Law is a command of the Lawgiver (hukum adalah
perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki
kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan (demikian John Austin seperti
dikutip Lili Rasjidi, 2010:56). Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik
memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran
positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk
politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan
aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum
dan Undang-Undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada
dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan
umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.
Jika kita berpandangan non-dogmatik dan memandang hukum bukan sekedar
peraturan yang dibuat oleh kekuasaan politik, maka tentu saja persoalan lebih
lanjut tentang hubungan kekuasaan hukum dan kekuasaan politik masih bisa
berkepanjangan. Namun jika kita menganut pandangan “positif” yang memandang
hukum semata-mata hanya produk kekuasaan politik, maka rasa tak relevan lagi
pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan hukum dan kekuasaan politik,
karena pada akhirnya mereka mengidentikkan antara hukum dan politik. Bagi
kaum non-dogmatif, hukum bukan sekedar undang-undang. Eugen Ehrlich (Paton,
1951:21) mengatakan bahwa: “...that law
depends on popular acceptance and that each group creates its own living law
which alone has creative force” (hukum tergantung pada penerimaan umum dan
bahwa setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup, dimana didalamnya
masing-masing terkandung kekuatan kreatif). Perlu kita tegaskan di sini,
bahwa yang kita maksudkan dengan politik adalah segala sesuatu yang bertalian
dengan kekuasaan resmi suatu pemerintahan negara. Mungkin seluruh negara yang
ada di dunia kini, apapun wujudnya (kerajaan atau republik; berfaham liberal
atau sosialis; menggunakan sistem demokrasi ataupun otiriter/diktator)
menyatakan negara mereka sebagai “negara hukum”. Olehnya itu senantiasa timbul
pertanyaan, yang mana yang lebih dominan, kekuasaan hukum atau kekuasaan
negara?
Pandangan Mac Iver yang membedakan 2 jenis hukum. pertama, hukum yang berada dibawah pengaruh politik dan kedua, hukum yang berada di atas
politik. yang berada diatas politik, hanya konstitusi, sedang sisanya semua
berada dibawah politik. Inilah pandangan yang realistis tentang hubungan hukum
dan politik. Salah satu contoh yang membuktikan kebenaran pandangan Mac Iver
ini adalah bahwa lahirnya undang-undang jelas karya para politisi. Bahwa
tidak dapat disangkal terdapat hubungan yang sangat erat antara hukum dan
politik, antara asas-asas hukum dan pranata-pranata hukum, serta antara
ideologi-ideologi politik dan lembaga-lembaga pemerintah. Sangat sering
mendengar pernyataan para yuris dengan slogan mereka bahwa : Hukum terdiri
diatas dan melewati politik. Yang mereka maksudkan adalah keinginan mereka
untuk mewujudkan suatu masyarakat dimana para hakim tidak dikekang oleh
pengaruh dogma politik. Ide seperti itu terasa sangat dipengaruhi oleh
cara berpikir tria politica montesquieu, yang jelas-jelas memisahkan antara
keuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun ide seperti itu agak
berbeda dengan ide kekuasaan politik berdasarkan UUD 1945 misalnya, dimana
kekuasaan presiden tidak hanya berada di bidang eksekutif semata, tetapi juga
ada yang berada dalam bidang legislatif dan yudikatif. Sebagai contoh besarnya
peran prsiden dalam meproduksi undang-undang; adanya kekuasaan presiden untuk
memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Dan kekuasaan tersebut jelas
konstitusional sifatnya karena berdasarkan konstitusi UUD 1945.
Jika persoalan kekuasaan politik ini dikaitkan dengan peradilan, maka
dengan eksistensi Mahkamah Agung, oleh yuris yang dogmatik mengharapkan bahwa,
meskipun suatu pemerintah ingin menggunakan undang-undang bagi pencapaian
tujuan politik, pengadilan-pengadilan tetap diharapkan untuk tetap menjauhkan
diri dari kontroversi-kontroversi forum politik. Harapan semacam itu jelas agak
mustahil jika kita menerima kehadiran hukum sebagai sesuatu yang tidak otonom
atau mandiri. Bagaimanapun, pengaruh timbal-balik antara kekuasaan hukum dan
kekuasaan politik senantiasa mesti terjadi. Hal ini dijelaskan Harry C.
Breidmeier (Vilhelm Aubert, 1969:54) dengan konsep inputs-outputsnya memandang
kaitan antara pengadilan dan politik, dengan melihat keadaan di Amerika
Serikat. Dikatakan bahwa pencapaian tujuan yang menjadi tugas sub sistem
politik dilakukan dengan merumuskan tujuan yang hendak dicapai dengan
menetapkannya menjadi perundang-undangan. Jika Undang-undang itu kemudian
digugat keabsahannya, pengadilan yang akan menjatuhkan putusannya. Pengadilan
menguji perundang-undangan itu.
Pemikiran Curzon (1979:19) mengemukakan pandangan Ilmu Hukum Politik yang
memandang pengadilan adalah alat politik di mana hakim adalah aktor politiknya,
terlihat dari apa yang ditulisnya : “..The
core of political jurisprudence is a vision of the courts as political agencies
and judges as political actors...”. Griffith (Curzon, 1979:44) melukiskan
perhatiannya tentang apa yang dilihatnya sebagai peran politik para hakim
Inggris. Griffith yakin bahwa para hakim membatasi kepentingan publik, yang tak
terelakan dari titik pandang kelompok mereka. Dalam kontek lembaga pengadilan,
Rupert Cross & P. Asterley Jones juga menginginkan peran pengadilan untuk
menunjang kebijakan politik, (dikutip dari Achmad Ali, Suatu Protes terhadap
Pasal 284 KUH. Pidana. Pedoman Rakyat, 30 Mei 1983) yaitu menuliskan bahwa : “The criminal law may be used not only for
the prevention of wrong which are obviously deserving of punishment, but also
for the achievement of the policy of the government of the day ...”.
Pandangan Daniel S.Lev (dalam : Judicial
Institution and Legal Culture) pada bagian akhir karangannya menuliskan
hubungan hukum dan kekuasaan politik sebagai berikut : “Where cultural myths and values have emphazed means of social
political regaulation and intercourse other than an autonomous sphere of law,
legal institutions are consequently less likely to develop the kind of
independent power they in a view Europeancountries and the United States. Even
the emergency of Powerful bureaucratic establishments, essential to strong
legal systems, cannot alone create common positive orientations to legal
processes, specially, for example, when patrimonial values also remain strong”.(Dimana
mitos-mitos kultural dan nilai-nilai menekankan cara-cara pengaturan serta
hubungan-hubungan sosial politik yang tidak bertolak dari wilayah hukum yang
otonom, maka sebagai konsekuensinya di situ lembaga-lembaga hukum akan kurang
mampu mengembangkan kekuasannya yang independen seperti yang dimiliki di
negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.Tampilnya kekuasaan-kekuasaan birokrasi
yang perkasa sekalipun, yang merupakan unsur esensial bagi adanya sistem hukum
yang kuat, tidak akan menciptakan suatu tanggapan umum yang positif terhadap
bekerjanya hukum, terutama bila misalnya nilai-nilai patrimonial tetap bercokol
kuat).
Hukum juga seyogianya memiliki kemampuan untuk menjadi pencerminan
perubahan moralitas-sosial. Dengan demikian, pengadilan di sini dapat mewujudkan
ketiga tujuan hukum secara seimbang yaitu : Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian
Hukum. Dimana fungsi-fungsi hukum hanya mungkin dilaksanakan secara
optimal, jika hukum memiliki kekuasaan dan ditunjang oleh kekuasaan politik.
Meskipun kekuasaan politik memiliki karakteristik tidak ingin dibatasi,
sebaliknya hukum memiliki karakteristik untuk membatasi segala sesuatu melalui
aturan-aturannya. Dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan politik, hukum
harus membatasi kekuasaan politik, agar tidak timbul penyalahgunaan kekuasaan
dan kesewenang-wenangan, sebaliknya kekuasaan politik menunjang terwujudnya
fungsi hukum dengan “menyuntikan’ kekuasaan pada hukum, yaitu dalam wujud
sanksi hukum.
Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik, salah satunya terwujud dalam
pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum ditegakkan oleh kekuasaan politik
melalui alat-alat politik lain seperti polisi, penuntut umum dan pengadilan.
Dalam hal ini, kita harus berani mengakui bahwa pengadilan bukan sekedar
alat-hukum, tetapi juga alat politik. Dalam hal ini, tentu saja sanksi hukum
tadi dapat pula mengganjar aparat kekuasaan politik yang melanggar hukum. Harus
diingat, bahwa setelah hukum memperoleh kekuasaan dari kekuasaan-politik tadi,
hukum juga menyalurkan kekuasaan itu pada masyarakatnya. Dimasa kolonial
Belanda pun juga telah terjadi pasang surut dan pasang naik perkembangan
konfigurasi politik di Indonesia, yaitu perubahan konfigurasi politik otoriter
ke demokratis, dan sebaliknya. Dimana hal itu juga dapat disimpulkan bahwa
performance konfigurasi politik tidak selalu sama dengan ketentuan
konstitusinya. Karena semua konstitusi yang berlaku sejak Indonesia merdeka
secara eksplisit menyebut “demokrasi” sebagai salah satu prinsipnya yang
fundamental, tetapi dalam prakteknya yang terjadi sebaliknya.
Adapun periodisasi, perkembangan konfigurasi politik dalam periode tersebut, sebagai berikut, demokrasi Liberal (1945–1959), demokrasi Terpimpin (1959-1966), Orde Baru (1966-1998).
Adapun periodisasi, perkembangan konfigurasi politik dalam periode tersebut, sebagai berikut, demokrasi Liberal (1945–1959), demokrasi Terpimpin (1959-1966), Orde Baru (1966-1998).
B. Pandangan Aliran Positivis Tentang Hukum
Aliran positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan
oleh filosof Perancis; August Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa terdapat
kepastian adanya hukum-hukum perkembangan mengatur roh manusia dan segala
gejala hidup bersama dan itulah secara mutlak. August Comte hanya mengakui
hukum yang dibuat oleh negara. (Achmad Ali, 2002:265). Untuk memahami
positivisme hukum tidak dapat diabaikan metodelogi positivis dalam sains yang
mengharuskan dilakukannya validasi dengan metode yang terbuka atas setiap kalin
atau proposisi yang diajukan. Karena itu bukti empirik adalah syarat universal
untuk diterimanya kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas tradisi atau suatu
kitab suci.
Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam
ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat
di verifikasi. Adapun yang diluar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai
hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral,
walaupun kalangan positivis mengakui bahwa focus mengenai norma hukum sangat
berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiologi dan politik yang
mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem
hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan
memberlakukannya sebagai hukum. Lebih jauh, pandangan dan pendapat dari mazhab
positivisme ini dapat ditelusuri dari pendapat dan pandangan dari para penganut
terpenting dari mazhab ini antara lain John Austin, seorang ahli hukum positif
yang analitis berkebangsaan Inggris yang mewakili pandangan positivis dari
kelompok penganut sistem hukum Common Law, dan Hans Kelsen,
seorang ahli hukum positif yang murni berkebangsaan Jerman yang mewakili
pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Menurut John Austin (Lili Rasjidi, 2010:56), hukum adalah suatu perintah
kaum yang memegang kedaulatan. Ilmu hukum berkaitan dengan hukum positif atau
dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas disebut demikian. Pendapat
Austin sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai kedaulatan negara yang
memiliki dua sisi yaitu sisi eksternal dalam bentuk hukum internasional dan
sisi internal dalam bentuk hukum positif. Kedaulatan negara menuntut ketaatan
dari penduduk warga negara. Lebih lanjut menurut Austin, ketaatan ini berbeda
dengan ketaatan seseorang karena ancaman senjata. Ketaatan warga negara
terhadap kedaulatan negara didasarkan pada legitimasi.
Menurut pandangan John Austin (Lili Rasjidi, 2010:56-57), hukum sebagai
suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical
system). Hukum dipisahkan secara tegas dari keadilan dan tidak didasarkan
pada nilai-nilai yang baik atau buruk. Ada empat unsur hukum yaitu adanya perintah, sanksi,
kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan yang tidak memenuhi ke
empat unsur ini tidak dapat dikatakan sebagai positive law. Selanjutnya
Lili Rasjidi (2010:57-58) menyimpulkan pokok-pokok ajaran Analytical
Jurisprudence dari Austin, yaitu :
- Ajarannya tidak berkaitan
dengan soal atau penilain baik dan buruk, sebab peniliain terbeut berada
di luar hukum;
- Walau diakui adanya hukum moral
yang berpengaruh terhadap masyarakat, namun secara yuridis tidak penting
bagi hukum.
- Pandangannya bertolak belakang
dengan baik penganut hukum alam maupun mazhab sejarah;
- Hakekat dari hukum adalah
perintah. Semua hukum positif adalah perintah dari yang
berdaulat/penguasa.
- Kedaulatan adalah hal di luar
hukum, yaitu berada pada dunia politik atau sosiologi karenanya tidak
perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam
kenyataan;
- Ajaran Austin kurang/tidak
memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dari kalangan penganut sistem hukum Eropa Kontinental, Hans Kelsen yang
dikenal dengan jaran hukum murninya selalu digolongkan sebagai penganut aliran
positivisme ini. Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu
diketengahkan ( Ibid. : 60). Pertama, ajarannya tentang hukum yang bersifat
murni dan kedua, berasal dari muridnya Adolf Merkl yaitu stufenbau des
recht yang mengutamakan tentang adanya hierarkis daripada
perundang-undangan. Inti ajaran hukum murni Hans Kelsen (Ibid. : 61) adalah
bahwa hukum itu harus dipisahkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti
etis, sosiologis, politis dan sebagainya. Dengan demikian Kelsen tidak
memberikan tempat bagi betrlakunya hukum alam. Hukum merupakan sollen yuridis
semata-mata yang terlepas dari das sein / kenyataan sosial.
Sedangkan ajaran stufentheorie berpendapat bahwa suatu
sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum
tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai
ketentuan yang paling tanggi adalah Grundnorm atau norma dasar
yang bersifat hipotetis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkrit daripada
ketentuan yang lebih tinggi. Ajaran murni tentang hukum adalah suatu teori
tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan hukum yang senyatanya
itu, yaitu apakah hukum yang senyatanya itu adil atau tidak adil.
Selanjutnya Prof.H.L.A.Hart (Lili Rasyidi, 2010: 58) menguraikan tentang
ciri-ciri positivisme pada ilmu hukum dewasa ini sebagai berikut:
ü Hukum adalah perintah dari manusia (command of human being);
ü Tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum (law) dan
moral atau hukum sebagaimana yang berlaku/ada dan hukum yang sebenarnya;
ü Pengertian bahwa analisis konsepsi hukum adalah : mempunyai arti penting, harus
dibedakan dari penyelidikan : a) historis mengenai sebab-musabab dan
sumber-sumber hukum, b) sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial
lainnya, dan c) penyelidikan hukum secara kritis atau penilain, baik yang
berdasarkan moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan lain-lainnya.
ü Pengertian bahwa sitem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat
tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat
diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah
ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan
ukuran-ukuran moral;
ü Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau
dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan
argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.
Dengan demikian kita dapat pula mengatakan, karena negara adalah ekspresi
atau merupakan forum kekuatan-kekuatan politik yang ada didalam masyarakat,
maka hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang diambil dengan cara
yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mempunyai tugas untuk mengatur
dengan cara-cara umum untuk mengatasi problema-problema kemasyarakatan yang
serba luas dan rumit, pengaturan ini merupakan obyek proses pengambilan
keputusan politik, yang dituangkan kedalam aturan-aturan, yang secara formal
diundangkan. Jadi dengan demikian hukum adalah hasil resmi pembentukan
keputusan politik.
Politik dan hukum merupakan subsistem dalam sistem kemasyarakatan.
Masing-masing melaksanakan fungsi tertentu untuk menggerakkan sistem
kemasyarakatan secara keseluruhan. Secara garis besar hukum berfungsi melakukan
social control, dispute settlement dan
social engeneering atau inovation, sedangkan fungsi politik meliputi
pemeliharaan sistem dan adaptasi (socialization
and recruitment), konversi (rule
making, rule aplication, rule adjudication, interestarticulation dan
aggregation) dan fungsi kapabilitas (regulatif
extractif, distributif dan responsif).
Hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan adalah bersifat
terbuka, karena itu keduanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi ole subsistem
lainnya maupun oleh sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Walaupun hukum
dan politik mempunyai fungsi dan dasar pembenaran yang berbeda, namun keduanya
tidak saling bertentangan. Tetapi saling melengkapi. Masing-masing memberikan
kontribusi sesuai dengan fungsinya untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan
secara keseluruhan. Dalam masyarakat yang terbuka dan relatif stabil sistem
hukum dan politiknya selalu dijaga keseimbangannya, di samping sistem-sitem
lainnya yang ada dalam suatu masyarakat.
Hukum memberikan kompetensi untuk para pemegang kekuasaan politik
berupa jabatan-jabatan dan wewenang sah untuk melakukan tindakan-tindakan
politik bilamana perlu dengan menggunakan sarana pemaksa. Hukum merupakan
pedoman yang mapan bagi kekuasan politik untuk mengambil keputusan dan
tindakan-tindakan sebagai kerangka untuk rekayasa sosial secar tertib. Dilain
pihak hukum tidak efektif kecuali bila mendapatkan pengakuan dan diberi sanksi
oleh kekuasaan politik. Karena itu Maurice Duverger (Sosiologi Politik,
1981:358) menyatakan: “hukum di definisikan oleh kekuasaan; dia terdiri dari
tubuh undang-undang dan prosedur yang dibuat atau diakui oleh kekuasaan
politik.
Hukum memberikan dasar legalitas bagi kekuasaan politik dan
kekuasaan politik membuat hukum menjadi efektif. Atau dengan kata lain dapat
dikemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan yang diam dan politik adalah hukum
yang in action dan kehadirannya
dirasakan lebih nyata serta berpengaruh dalam kehidupan kemasyarakatan. Hukum
dan politik mempunyai kedudukan yang sejajar. Hukum tidak dapat ditafsirkan sebagai
bagian dari sistem politik. Demikian juga sebaliknya. Realitas hubungan hukum
dan politik tidak sepenuhnya ditentukan oleh prinsp-prinsip yang diatur dalam
suatu sistem konstitusi, tetapi lebih dtentukan oleh komitmen rakyat dan elit
politik untuk bersungguh-sungguh melaksanakan konstitusi tersebut sesuai dengan
semangat dan jiwanya. Sebab suatu sistem konstitusi hanya mengasumsikan
ditegakkannya prinsi-prinsip tertentu, tetapi tidak bisa secara otomatis
mewujudkan prinsi-prinsip tersebut. Prinsip-prinsip obyektif dari sistem hukum
(konstitusi) sering dicemari oleh kepentingan-kepentingan subyektif penguasa
politik untuk memperkokoh posisi politiknya, sehingga prinsip-prinsip
konstitusi jarang terwujud menjadi apa yang seharusnya, bahkan sering dimanipulasi
atau diselewengkan.
Penyelewengan prinsip-prinsip hukum terjadi karena politik
cenderung mengkonsentrasikan kekuasaan ditangannya dengan memonopoli alat-alat
kekuasaan demi tercapainya kepentingan-kepentingan politik tertentu. Di samping
itu seperti dicatat oleh Virginia Held (Etika Moral 1989;144)
keputusan-keputusan politik dapat bersifat sepenuhnya ekstra legal, selama
orang-orang yang dipengaruhinya menerima sebagai berwenang. Jika keputusan
seorang pemimpin, betapapun sewenang wenang ataupun tidak berhubungan dengan
peraturan-peraturan tertentu, diterima oleh para pengikutnya, maka keputusan
itu mempunyai kekuatan politik yang sah. Dengan memonopoli penggunaan alat-alat
kekuasaan dan mengkondisikan penerimaan oleh masyarakat, maka politik mampu menciptakan
kekuasaan efektif tanpa memerlukan legalitas hukum.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kita mengalami hubungan
hukum dengan politik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan
dalam UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 dengan jelas mengamanatkan susunan negara RI
yang berkedaulatan rakyat. Dan penjelasan umum UUD 1945 mengenai sistem
Pemerintahan Negara dengan gamblang menentukan antara lain bahwa Negara
Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat)
tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat)
serta pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat
absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
C. Kesimpulan
1.
Hukum dan Politik memang sulit dipisahkan,
khususnya hukum tertulis mempunyai kaitan langsung dengan negara. Karena itulah
Curzon (1974:44) menyatakan bahwa : “The
close connections between law and politics, between legal principles and the
institutions of the law, between political ideologies and government
institutions are obvious…”. Jadi bagi Curzon, ketika para juris melihat
atau menunjuk hukum sebagai sesuatu yang berdiri dan melewati politik, maka
yang dimaksud disini adalah adanya masyarakat dimana para hakimnya tidak
dikekang oleh pengaruh dogma politik. Karena itu, meskipun suatu pemerintah
ingin menggunakan undang-undang bagi pencapaian tujuan politik,
pengadilan-pengadilan tetap diharapkan untuk tetap menjauhkan diri dari
kontroversi-kontroversi forum politik.
2.
Hukum adalah suatu lembaga yang sangat
rumit, tidak hanya terdiri dari peraturan-pertauran saja, tetapi juga meliputi
masalah-masalah teknis, praktek, dan ideologi. Hukum
memberikan dasar legalitas bagi kekuasaan politik dan kekuasaan politik membuat
hukum menjadi efektif. Atau dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa hukum
adalah kekuasaan yang diam dan politik adalah hukum yang in action dan kehadirannya dirasakan lebih nyata serta berpengaruh
dalam kehidupan kemasyarakatan.
3.
Kemandirian Hakim dalam metode Grand Style lebih menjamin Penemuan
Hukum oleh Hakim yang lebih realistis sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Akan
tetapi juga harus dijaga agar kemandirian Hakim itu jangan berubah menjadi
tirani Hakim yang tanpa batas (absolut). Oleh karena itu Hakim senantiasa
berada diantara dua titik dalam satu garis, yaitu titik keadilan (azas kepastian
hukum. Hakim bebas bergerak diantara dua titik tersebut, didalam menghadapi
setiap kasus. (Casuistis).
4.
Memahami hukum Indonesia harus dilihat
dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang pengertian
apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan
berlakunya hukum. apa yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan
berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu hukum
yang memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam peraturan
perundang-undangan atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya
dalam perkembangan sistem hukum Indonesia kedepan.
DAFTAR PUSTAKA
Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Pengantar
Filsafat dan Teori Hukum. Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti: Bandung.2001.
———–, Dasar-Dasar
Filsafat dan Teori Hukum, Cet.ke VIII, Citra Aditya Bakti, bandung 2001.
———–, Pengantar Filsafat Hukum, Cet.Kelima,
CV Mandar Maju, Bandung, 2010.
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum,
Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung,
Jakarta, 2002.
Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik
di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.
http://www.greasy.com/komparta/hubungan_antara_hukum_dan.html.%202008
didownload pada senin, 23 april 2012, jam 12.30
http://hamdanzoelva.wordpress.com/2008/02/20/hukum-dan-politik-dalam-sistem-hukum-indonesia/
didownload pada senin, 23 april 2012, jam 12.55
http://andukot.wordpress.com/2010/05/02/eksistensi-politik-dan-hukum-dalam-menjalankan-sistem/
, didownload pada senin, 23 april 2012, jam 13.42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar