Rabu, 25 April 2012

POLITIK HUKUM : Pengaruh Hukum Terhadap Politik


PENGARUH HUKUM TERHADAP POLITIK
Oleh : Joni Sandra, dkk
Mahasiswa Magister Hukum Kebijakan Publik Universitas Internasional Batam

A.      Hukum dan Politik dalam Sistem Hukum Indonesia
Law is a command of the Lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan (demikian John Austin seperti dikutip Lili Rasjidi, 2010:56). Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan Undang-Undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.
Jika kita berpandangan non-dogmatik dan memandang hukum bukan sekedar peraturan yang dibuat oleh kekuasaan politik, maka tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan kekuasaan hukum dan kekuasaan politik masih bisa berkepanjangan. Namun jika kita menganut pandangan “positif” yang memandang hukum semata-mata hanya produk kekuasaan politik, maka rasa tak relevan lagi pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan hukum dan kekuasaan politik, karena pada akhirnya mereka mengidentikkan antara hukum dan politik. Bagi kaum non-dogmatif, hukum bukan sekedar undang-undang. Eugen Ehrlich (Paton, 1951:21) mengatakan bahwa: “...that law depends on popular acceptance and that each group creates its own living law which alone has creative force” (hukum tergantung pada penerimaan umum dan bahwa setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup, dimana didalamnya masing-masing terkandung kekuatan kreatif). Perlu kita tegaskan di sini, bahwa yang kita maksudkan dengan politik adalah segala sesuatu yang bertalian dengan kekuasaan resmi suatu pemerintahan negara. Mungkin seluruh negara yang ada di dunia kini, apapun wujudnya (kerajaan atau republik; berfaham liberal atau sosialis; menggunakan sistem demokrasi ataupun otiriter/diktator) menyatakan negara mereka sebagai “negara hukum”. Olehnya itu senantiasa timbul pertanyaan, yang mana yang lebih dominan, kekuasaan hukum atau kekuasaan negara?
Pandangan Mac Iver yang membedakan 2 jenis hukum. pertama, hukum yang berada dibawah pengaruh politik dan kedua, hukum yang berada di atas politik. yang berada diatas politik, hanya konstitusi, sedang sisanya semua berada dibawah politik. Inilah pandangan yang realistis tentang hubungan hukum dan politik. Salah satu contoh yang membuktikan kebenaran pandangan Mac Iver ini adalah bahwa lahirnya undang-undang jelas karya para politisi. Bahwa tidak dapat disangkal terdapat hubungan yang sangat erat antara hukum dan politik, antara asas-asas hukum dan pranata-pranata hukum, serta antara ideologi-ideologi politik dan lembaga-lembaga pemerintah. Sangat sering mendengar pernyataan para yuris dengan slogan mereka bahwa : Hukum terdiri diatas dan melewati politik. Yang mereka maksudkan adalah keinginan mereka untuk mewujudkan suatu masyarakat dimana para hakim tidak dikekang oleh pengaruh dogma politik. Ide seperti itu terasa sangat dipengaruhi oleh cara berpikir tria politica montesquieu, yang jelas-jelas memisahkan antara keuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun ide seperti itu agak berbeda dengan ide kekuasaan politik berdasarkan UUD 1945 misalnya, dimana kekuasaan presiden tidak hanya berada di bidang eksekutif semata, tetapi juga ada yang berada dalam bidang legislatif dan yudikatif. Sebagai contoh besarnya peran prsiden dalam meproduksi undang-undang; adanya kekuasaan presiden untuk memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Dan kekuasaan tersebut jelas konstitusional sifatnya karena berdasarkan konstitusi UUD 1945.
Jika persoalan kekuasaan politik ini dikaitkan dengan peradilan, maka dengan eksistensi Mahkamah Agung, oleh yuris yang dogmatik mengharapkan bahwa, meskipun suatu pemerintah ingin menggunakan undang-undang bagi pencapaian tujuan politik, pengadilan-pengadilan tetap diharapkan untuk tetap menjauhkan diri dari kontroversi-kontroversi forum politik. Harapan semacam itu jelas agak mustahil jika kita menerima kehadiran hukum sebagai sesuatu yang tidak otonom atau mandiri. Bagaimanapun, pengaruh timbal-balik antara kekuasaan hukum dan kekuasaan politik senantiasa mesti terjadi. Hal ini dijelaskan Harry C. Breidmeier (Vilhelm Aubert, 1969:54) dengan konsep inputs-outputsnya memandang kaitan antara pengadilan dan politik, dengan melihat keadaan di Amerika Serikat. Dikatakan bahwa pencapaian tujuan yang menjadi tugas sub sistem politik dilakukan dengan merumuskan tujuan yang hendak dicapai dengan menetapkannya menjadi perundang-undangan. Jika Undang-undang itu kemudian digugat keabsahannya, pengadilan yang akan menjatuhkan putusannya. Pengadilan menguji perundang-undangan itu. 
Pemikiran Curzon (1979:19) mengemukakan pandangan Ilmu Hukum Politik yang memandang pengadilan adalah alat politik di mana hakim adalah aktor politiknya, terlihat dari apa yang ditulisnya : “..The core of political jurisprudence is a vision of the courts as political agencies and judges as political actors...”. Griffith (Curzon, 1979:44) melukiskan perhatiannya tentang apa yang dilihatnya sebagai peran politik para hakim Inggris. Griffith yakin bahwa para hakim membatasi kepentingan publik, yang tak terelakan dari titik pandang kelompok mereka. Dalam kontek lembaga pengadilan, Rupert Cross & P. Asterley Jones juga menginginkan peran pengadilan untuk menunjang kebijakan politik, (dikutip dari Achmad Ali, Suatu Protes terhadap Pasal 284 KUH. Pidana. Pedoman Rakyat, 30 Mei 1983) yaitu menuliskan bahwa : “The criminal law may be used not only for the prevention of wrong which are obviously deserving of punishment, but also for the achievement of the policy of the government of the day ...”.
Pandangan Daniel S.Lev (dalam : Judicial Institution and Legal Culture) pada bagian akhir karangannya menuliskan hubungan hukum dan kekuasaan politik sebagai berikut : “Where cultural myths and values have emphazed means of social political regaulation and intercourse other than an autonomous sphere of law, legal institutions are consequently less likely to develop the kind of independent power they in a view Europeancountries and the United States. Even the emergency of Powerful bureaucratic establishments, essential to strong legal systems, cannot alone create common positive orientations to legal processes, specially, for example, when patrimonial values also remain strong”.(Dimana mitos-mitos kultural dan nilai-nilai menekankan cara-cara pengaturan serta hubungan-hubungan sosial politik yang tidak bertolak dari wilayah hukum yang otonom, maka sebagai konsekuensinya di situ lembaga-lembaga hukum akan kurang mampu mengembangkan kekuasannya yang independen seperti yang dimiliki di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.Tampilnya kekuasaan-kekuasaan birokrasi yang perkasa sekalipun, yang merupakan unsur esensial bagi adanya sistem hukum yang kuat, tidak akan menciptakan suatu tanggapan umum yang positif terhadap bekerjanya hukum, terutama bila misalnya nilai-nilai patrimonial tetap bercokol kuat).
Hukum juga seyogianya memiliki kemampuan untuk menjadi pencerminan perubahan moralitas-sosial. Dengan demikian, pengadilan di sini dapat mewujudkan ketiga tujuan hukum secara seimbang yaitu : Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum. Dimana fungsi-fungsi hukum hanya mungkin dilaksanakan secara optimal, jika hukum memiliki kekuasaan dan ditunjang oleh kekuasaan politik. Meskipun kekuasaan politik memiliki karakteristik tidak ingin dibatasi, sebaliknya hukum memiliki karakteristik untuk membatasi segala sesuatu melalui aturan-aturannya. Dalam hubungan antara hukum dan kekuasaan politik, hukum harus membatasi kekuasaan politik, agar tidak timbul penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan, sebaliknya kekuasaan politik menunjang terwujudnya fungsi hukum dengan “menyuntikan’ kekuasaan pada hukum, yaitu dalam wujud sanksi hukum. 
Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik, salah satunya terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum ditegakkan oleh kekuasaan politik melalui alat-alat politik lain seperti polisi, penuntut umum dan pengadilan. Dalam hal ini, kita harus berani mengakui bahwa pengadilan bukan sekedar alat-hukum, tetapi juga alat politik. Dalam hal ini, tentu saja sanksi hukum tadi dapat pula mengganjar aparat kekuasaan politik yang melanggar hukum. Harus diingat, bahwa setelah hukum memperoleh kekuasaan dari kekuasaan-politik tadi, hukum juga menyalurkan kekuasaan itu pada masyarakatnya. Dimasa kolonial Belanda pun juga telah terjadi pasang surut dan pasang naik perkembangan konfigurasi politik di Indonesia, yaitu perubahan konfigurasi politik otoriter ke demokratis, dan sebaliknya. Dimana hal itu juga dapat disimpulkan bahwa performance konfigurasi politik tidak selalu sama dengan ketentuan konstitusinya. Karena semua konstitusi yang berlaku sejak Indonesia merdeka secara eksplisit menyebut “demokrasi” sebagai salah satu prinsipnya yang fundamental, tetapi dalam prakteknya yang terjadi sebaliknya.
Adapun periodisasi, perkembangan konfigurasi politik dalam periode tersebut, sebagai berikut, demokrasi Liberal (1945–1959), demokrasi Terpimpin (1959-1966), Orde Baru (1966-1998).

B. Pandangan Aliran Positivis Tentang Hukum
Aliran positivisme hukum berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan oleh filosof Perancis; August Comte (1798-1857) yang berpendapat bahwa terdapat kepastian adanya hukum-hukum perkembangan mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara mutlak. August Comte hanya mengakui hukum yang dibuat oleh negara. (Achmad Ali, 2002:265). Untuk memahami positivisme hukum tidak dapat diabaikan metodelogi positivis dalam sains yang mengharuskan dilakukannya validasi dengan metode yang terbuka atas setiap kalin atau proposisi yang diajukan. Karena itu bukti empirik adalah syarat universal untuk diterimanya kebenaran dan tidak berdasarkan otoritas tradisi atau suatu kitab suci.
Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat di verifikasi. Adapun yang diluar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di luar hukum. Hukum harus dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis mengakui bahwa focus mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiologi dan politik yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum. Moral hanya dapat diterima dalam sistem hukum apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai hukum. Lebih jauh, pandangan dan pendapat dari mazhab positivisme ini dapat ditelusuri dari pendapat dan pandangan dari para penganut terpenting dari mazhab ini antara lain John Austin, seorang ahli hukum positif yang analitis berkebangsaan Inggris yang mewakili pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Common Law, dan Hans Kelsen, seorang ahli hukum positif yang murni berkebangsaan Jerman yang mewakili pandangan positivis dari kelompok penganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Menurut John Austin (Lili Rasjidi, 2010:56), hukum adalah suatu perintah kaum yang memegang kedaulatan. Ilmu hukum berkaitan dengan hukum positif atau dengan ketentuan-ketentuan lain yang secara tegas disebut demikian. Pendapat Austin sangat dipengaruhi oleh pandangannya mengenai kedaulatan negara yang memiliki dua sisi yaitu sisi eksternal dalam bentuk hukum internasional dan sisi internal dalam bentuk hukum positif. Kedaulatan negara menuntut ketaatan dari penduduk warga negara. Lebih lanjut menurut Austin, ketaatan ini berbeda dengan ketaatan seseorang karena ancaman senjata. Ketaatan warga negara terhadap kedaulatan negara didasarkan pada legitimasi.
Menurut pandangan John Austin (Lili Rasjidi, 2010:56-57), hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system). Hukum dipisahkan secara tegas dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk. Ada empat unsur hukum yaitu adanya perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan yang tidak memenuhi ke empat unsur ini tidak dapat dikatakan sebagai positive law. Selanjutnya Lili Rasjidi (2010:57-58) menyimpulkan pokok-pokok ajaran Analytical Jurisprudence dari Austin, yaitu :
  1. Ajarannya tidak berkaitan dengan soal atau penilain baik dan buruk, sebab peniliain terbeut berada di luar hukum;
  2. Walau diakui adanya hukum moral yang berpengaruh terhadap masyarakat, namun secara yuridis tidak penting bagi hukum.
  3. Pandangannya bertolak belakang dengan baik penganut hukum alam maupun mazhab sejarah;
  4. Hakekat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah dari yang berdaulat/penguasa.
  5. Kedaulatan adalah hal di luar hukum, yaitu berada pada dunia politik atau sosiologi karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataan;
  6. Ajaran Austin kurang/tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat.
Dari kalangan penganut sistem hukum Eropa Kontinental, Hans Kelsen yang dikenal dengan jaran hukum murninya selalu digolongkan sebagai penganut aliran positivisme ini. Ada dua teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang perlu diketengahkan ( Ibid. : 60). Pertama, ajarannya tentang hukum yang bersifat murni dan kedua, berasal dari muridnya Adolf Merkl yaitu stufenbau des recht yang mengutamakan tentang adanya hierarkis daripada perundang-undangan. Inti ajaran hukum murni Hans Kelsen (Ibid. : 61) adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya. Dengan demikian Kelsen tidak memberikan tempat bagi betrlakunya hukum alam. Hukum merupakan sollen yuridis semata-mata yang terlepas dari das sein / kenyataan sosial.
Sedangkan ajaran stufentheorie berpendapat bahwa suatu sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum dimana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai ketentuan yang paling tanggi adalah Grundnorm atau norma dasar yang bersifat hipotetis. Ketentuan yang lebih rendah adalah lebih konkrit daripada ketentuan yang lebih tinggi. Ajaran murni tentang hukum adalah suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan hukum yang senyatanya itu, yaitu apakah hukum yang senyatanya itu adil atau tidak adil.
Selanjutnya Prof.H.L.A.Hart (Lili Rasyidi, 2010: 58) menguraikan tentang ciri-ciri positivisme pada ilmu hukum dewasa ini sebagai berikut:
ü Hukum adalah perintah dari manusia (command of human being);
ü Tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum (law) dan moral atau hukum sebagaimana yang berlaku/ada dan hukum yang sebenarnya;
ü Pengertian bahwa analisis konsepsi hukum adalah : mempunyai arti penting, harus dibedakan dari penyelidikan : a) historis mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum, b) sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya, dan c) penyelidikan hukum secara kritis atau penilain, baik yang berdasarkan moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan lain-lainnya.
ü Pengertian bahwa sitem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral;
ü Pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan.
Dengan demikian kita dapat pula mengatakan, karena negara adalah ekspresi atau merupakan forum kekuatan-kekuatan politik yang ada didalam masyarakat, maka hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang diambil dengan cara yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mempunyai tugas untuk mengatur dengan cara-cara umum untuk mengatasi problema-problema kemasyarakatan yang serba luas dan rumit, pengaturan ini merupakan obyek proses pengambilan keputusan politik, yang dituangkan kedalam aturan-aturan, yang secara formal diundangkan. Jadi dengan demikian hukum adalah hasil resmi pembentukan keputusan politik.
Politik dan hukum merupakan subsistem dalam sistem kemasyarakatan. Masing-masing melaksanakan fungsi tertentu untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Secara garis besar hukum berfungsi melakukan social control, dispute settlement dan social engeneering atau inovation, sedangkan fungsi politik meliputi pemeliharaan sistem dan adaptasi (socialization and recruitment), konversi (rule making, rule aplication, rule adjudication, interestarticulation dan aggregation) dan fungsi kapabilitas (regulatif extractif, distributif dan responsif).
Hukum dan politik sebagai subsistem kemasyarakatan adalah bersifat terbuka, karena itu keduanya saling mempengaruhi dan dipengaruhi ole subsistem lainnya maupun oleh sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Walaupun hukum dan politik mempunyai fungsi dan dasar pembenaran yang berbeda, namun keduanya tidak saling bertentangan. Tetapi saling melengkapi. Masing-masing memberikan kontribusi sesuai dengan fungsinya untuk menggerakkan sistem kemasyarakatan secara keseluruhan. Dalam masyarakat yang terbuka dan relatif stabil sistem hukum dan politiknya selalu dijaga keseimbangannya, di samping sistem-sitem lainnya yang ada dalam suatu masyarakat.
Hukum memberikan kompetensi untuk para pemegang kekuasaan politik berupa jabatan-jabatan dan wewenang sah untuk melakukan tindakan-tindakan politik bilamana perlu dengan menggunakan sarana pemaksa. Hukum merupakan pedoman yang mapan bagi kekuasan politik untuk mengambil keputusan dan tindakan-tindakan sebagai kerangka untuk rekayasa sosial secar tertib. Dilain pihak hukum tidak efektif kecuali bila mendapatkan pengakuan dan diberi sanksi oleh kekuasaan politik. Karena itu Maurice Duverger (Sosiologi Politik, 1981:358) menyatakan: “hukum di definisikan oleh kekuasaan; dia terdiri dari tubuh undang-undang dan prosedur yang dibuat atau diakui oleh kekuasaan politik.
Hukum memberikan dasar legalitas bagi kekuasaan politik dan kekuasaan politik membuat hukum menjadi efektif. Atau dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan yang diam dan politik adalah hukum yang in action dan kehadirannya dirasakan lebih nyata serta berpengaruh dalam kehidupan kemasyarakatan. Hukum dan politik mempunyai kedudukan yang sejajar. Hukum tidak dapat ditafsirkan sebagai bagian dari sistem politik. Demikian juga sebaliknya. Realitas hubungan hukum dan politik tidak sepenuhnya ditentukan oleh prinsp-prinsip yang diatur dalam suatu sistem konstitusi, tetapi lebih dtentukan oleh komitmen rakyat dan elit politik untuk bersungguh-sungguh melaksanakan konstitusi tersebut sesuai dengan semangat dan jiwanya. Sebab suatu sistem konstitusi hanya mengasumsikan ditegakkannya prinsi-prinsip tertentu, tetapi tidak bisa secara otomatis mewujudkan prinsi-prinsip tersebut. Prinsip-prinsip obyektif dari sistem hukum (konstitusi) sering dicemari oleh kepentingan-kepentingan subyektif penguasa politik untuk memperkokoh posisi politiknya, sehingga prinsip-prinsip konstitusi jarang terwujud menjadi apa yang seharusnya, bahkan sering dimanipulasi atau diselewengkan.
Penyelewengan prinsip-prinsip hukum terjadi karena politik cenderung mengkonsentrasikan kekuasaan ditangannya dengan memonopoli alat-alat kekuasaan demi tercapainya kepentingan-kepentingan politik tertentu. Di samping itu seperti dicatat oleh Virginia Held (Etika Moral 1989;144) keputusan-keputusan politik dapat bersifat sepenuhnya ekstra legal, selama orang-orang yang dipengaruhinya menerima sebagai berwenang. Jika keputusan seorang pemimpin, betapapun sewenang wenang ataupun tidak berhubungan dengan peraturan-peraturan tertentu, diterima oleh para pengikutnya, maka keputusan itu mempunyai kekuatan politik yang sah. Dengan memonopoli penggunaan alat-alat kekuasaan dan mengkondisikan penerimaan oleh masyarakat, maka politik mampu menciptakan kekuasaan efektif tanpa memerlukan legalitas hukum.
Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, kita mengalami hubungan hukum dengan politik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan dalam UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 dengan jelas mengamanatkan susunan negara RI yang berkedaulatan rakyat. Dan penjelasan umum UUD 1945 mengenai sistem Pemerintahan Negara dengan gamblang menentukan antara lain bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat) serta pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

C. Kesimpulan
1.      Hukum dan Politik memang sulit dipisahkan, khususnya hukum tertulis mempunyai kaitan langsung dengan negara. Karena itulah Curzon (1974:44) menyatakan bahwa : “The close connections between law and politics, between legal principles and the institutions of the law, between political ideologies and government institutions are obvious…”. Jadi bagi Curzon, ketika para juris melihat atau menunjuk hukum sebagai sesuatu yang berdiri dan melewati politik, maka yang dimaksud disini adalah adanya masyarakat dimana para hakimnya tidak dikekang oleh pengaruh dogma politik. Karena itu, meskipun suatu pemerintah ingin menggunakan undang-undang bagi pencapaian tujuan politik, pengadilan-pengadilan tetap diharapkan untuk tetap menjauhkan diri dari kontroversi-kontroversi forum politik.
2.      Hukum adalah suatu lembaga yang sangat rumit, tidak hanya terdiri dari peraturan-pertauran saja, tetapi juga meliputi masalah-masalah teknis, praktek, dan ideologi. Hukum memberikan dasar legalitas bagi kekuasaan politik dan kekuasaan politik membuat hukum menjadi efektif. Atau dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan yang diam dan politik adalah hukum yang in action dan kehadirannya dirasakan lebih nyata serta berpengaruh dalam kehidupan kemasyarakatan.
3.      Kemandirian Hakim dalam metode Grand Style lebih menjamin Penemuan Hukum oleh Hakim yang lebih realistis sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Akan tetapi juga harus dijaga agar kemandirian Hakim itu jangan berubah menjadi tirani Hakim yang tanpa batas (absolut). Oleh karena itu Hakim senantiasa berada diantara dua titik dalam satu garis, yaitu titik keadilan (azas kepastian hukum. Hakim bebas bergerak diantara dua titik tersebut, didalam menghadapi setiap kasus. (Casuistis). 
4.      Memahami hukum Indonesia harus dilihat dari akar falsafah pemikiran yang dominan dalam kenyataanya tentang pengertian apa yang dipahami sebagai hukum serta apa yang diyakini sebagai sumber kekuatan berlakunya hukum. apa yang dipahami sebagai hukum dan sumber kekuatan berlakunya hukum sangat dipengaruhi oleh aliran positivisme dalam ilmu hukum yang memandang hukum itu terbatas pada apa yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan atau yang dimungkinkan berlakunya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, bahkan aliran ini akan terus mengokohkan dirinya dalam perkembangan sistem hukum Indonesia kedepan.



DAFTAR PUSTAKA

Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum. Cet. ke VIII, PT Citra Adtya Bakti: Bandung.2001.

———–, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cet.ke VIII, Citra Aditya Bakti, bandung 2001.

———–, Pengantar Filsafat Hukum, Cet.Kelima, CV Mandar Maju, Bandung, 2010.

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. II, Penerbit Gunung Agung, Jakarta, 2002.

Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta, 1990.


http://www.greasy.com/komparta/hubungan_antara_hukum_dan.html.%202008 didownload pada senin, 23 april 2012, jam 12.30


Tidak ada komentar: