Rabu, 26 Mei 2010

Air Mata Sri Mulyani

Air mata Sri Mulyani akhirnya jatuh juga. Saat memberikan sambutan dalam serah terima jabatan, Sri Mulyani akhirnya tak kuasa membendung airmatanya saat menghaturkan ucapan terima kasih kepada suaminya, Tony Sumartono dan anak-anaknya.

“Semua yang saya lakukan untuk Indonesia tidak bisa saya lakukan tanpa dukungan dari Tony Sumartono,” ujarnya dengan nada yang mulai bergetar saat memberikan sambutan di kementerian keuangan, Jakarta, Kamis (20/5/2010).

Sejak kalimat itu, Sri Mulyani mulai terbata-bata menahan tangis. Namun, semakin ditahan rupanya air mata itu jatuh juga. Dengan tetap berusaha meneruskan pidatonya, ia kembali menyampaikan rasa terima kasih kepada keluarga.

“Anak-anak yang menjadi pusat kekuatan dalam menjalankan semua tugas-tugas. Untuk itu saya ingin menyampaikan terima kasih,” tuturnya sesegukkan.

Selain kepada keluarga, Sri Mulyani juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada media yang selama ini telah mendukungnya menjalankan tugas sebagai menteri keuangan.

“Dan teman-teman dari media. Saya berterima kasih dalam menjalankan tugas. Media menjadi partner yang mengingatkan saya untuk berbuat lebih baik. Saya mungkin sering mengecewakan namun saya berharap teman-teman media bisa memahami posisi saya,” jelasnya dengan isakan tangis yang semakin memuncah.

Untuk meredam suasana haru yang dibuatnya saat meminta izin untuk pamit, Sri Mulyani ngeles bahwa tangisannya tersebut merupakan ungkapan kelegaan.

“Saya mohon pamit. Saya boleh menangis sekarang karena bukan Menteri Keuangan lagi. Kalau Menteri Keuangan nggak boleh nangis karena rupiah akan goncang. Ini ekspresi kelegaan,” ujarnya sambil menyindir Agus Marto yang berada di sebelahnya.

Sri Mulyani 'ikhlas' Curhat...

Sri Mulyani mengungkapkan curahan hati (curhat) tentang posisi dirinya saat berada di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Banyak kalangan yang mengenal beliau sebagai sosok yang tegas dan tidak kenal kompromi.

Tak heran banyak pihak yang menyukai gaya kepemimpinannya di lingkungan Kementerian Keuangan, namun tak jarang pula orang yang merasa dirinya sebagai salah satu ancaman. Dia pun mengungkapkan bahwa konsep beretika dan sikap mencegah konflik kepentingan di antara pejabat publik di Indonesia masih sangat langka. Bahkan orang yang dianggap menegakkan etika seperti dirinya justru dianggap aneh.

Konsep penegakan etika tersebut diperolehnya ketika dia menjabat sebagai Executive Director IMF. Namun ketika dirinya kembali ke Indonesia dan menjabat sebagai menteri keuangan, keadaan justru berbalik.

“Saat kembali ke Indonesia, saya sering menghadiri rapat tentang suatu kebijakan yang akan berimplikasi pada anggaran, baik belanja atau insentif. Ternyata pihak yang ikut dalam kebijakan itu akan mendapat keuntungannya, tidak ada rasa risih,” tuturnya saat Kuliah Umum Kebijakan Publik dan Etika Publik di Ballroom Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (18/5/2010) malam.

Bahkan menurutnya, banyaknya pejabat negara yang memiliki bisnis yang justru sengaja mengambil keuntungan dari keputusan yang dibuatnya sendiri. Menurutnya hal tersebut adalah suatu penyakit yang dibawa sejak masa orde baru namun saat ini justru terlihat lebih terbuka.

“Ini adalah suatu hal yang merupakan penyakit di zaman orde baru, namun dulu dibuat tertutup. Sekarang malah dibuat seolah telah terbuka dengan keputusan demokratis dan dengan check and balance, tapi sebenarnya tanpa etika,” tuturnya.

Untuk menegakkan etika yang dianutnya tersebut, terkadang dia sering kali bersikap keras terhadap pejabat publik untuk keluar dari ruang rapat apabila kebetulan pejabat tersebut memiliki kepentingan terhadap suatu perusaahan yang sedang dibahas dalam rapat tersebut.

“Ada suatu saat saya membuat rapat dan rapat itu jelas berhubungan dengan suatu perusahaan. Kebetulan yang diundang adalah beberapa komisaris perusahaan itu dan saya meminta kepada yang terkait dan berafiiliasi dengan yang dibicarakan silakan keluar. Mereka malah bilang, Mbak Ani jangan sadis begitu dong,” jelasnya.

Untuk itu, dirinya mengaku resah de
ngan kultur politik dan sikap pejabat tidak mengedepankan etika. Padahal proses politik dari hulu (presiden) sampai hilir (kepala daerah) adalah proses yang sangat menguras biaya, namun hasilnya justru lebih banyak tidak dirasakan manfaatnya oleh rakyat.

“Harus dihadapi kenyataan bahwa pemilihan itu diawalnya melalui proses yang memerlukan biaya yang luar biasa. Termasuk presiden. Namun bahkan kalkulasi return on investmentnya pun tidak masuk,” pungkasnya. (okezone)