BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Kebijakan publik merupakan tindakan yang
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam mengendalikan pemerintahannya. Dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah, kebijakan publik dan hukum mempunyai
peranan yang penting. Pembahasan mengenai hukum dapat meliputi dua aspek yaitu
:
Pertama, aspek keadilan menyangkut tentang
kebutuhan masyarakat akan rasa adil di tengah sekian banyak dinamika dan
konflik di tengah masyarakat. Kedua, aspek legalitas ini menyangkut apa yang
disebut dengan hukum positif yaitu sebuah aturan yang ditetapkan oleh sebuah
kekuasaan negara yang sah dan dalam pemberlakuannya dapat dipaksakan atas nama
hukum.
Berdasarkan kedua aspek tersebut, seringkali
terjadi perbenturan di mana “terkadang hukum positif ternyata tidak menjamin
terpenuhinya rasa keadilan dan sebaliknya rasa keadilan seringkali tidak
mempunyai kepastian hukum. Di tengah itu maka komprominya adalah bagaimana agar
semua hukum positif yang ada selalu merupakan cerminan dari rasa keadilan itu
sendiri”
Berangkat dari kesadaran tersebutlah maka
selanjutnya hukum pada dasarnya akan lebih banyak berbicara pada “sekian banyak
rentetan aturan-aturan yang sah dan legal. Masyarakat akan lebih banyak
dikendalikan dinamika sosialnya oleh aturan-aturan ini. Pada sisi ini kemudian
masyarakat modern memunculkan gagasan tentang kebijakan publik sebagai sebuah
instrumen dalam mengendalikan masyarakat”.
Dengan demikian maka melalui kebijakan publik
ini akan dilakukan penyesuaian bagi penerapan hukum dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah agar sesuai dengan rasa keadilan masyarakat yang sekaligus
dapat menumbuhkan kepatuhan masyarakat terhadap hukum. Kebijakan publik
berperan sebagai pengaturan masyarakat yang pada umumnya menekankan pada proses
dengan tetap memerlukan hukum untuk keabsahan dari kebijakan publik dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kebijakan publik yang telah diadopsi dan dilegitimasikan oleh
pemerintah dan lembaga legislatif, sudah semestinya diimplementasikan melalui
sistem administrasi publiknya, tak terkecuali mengenai kebijakan
desentralisasi. Masalah ini dikemukakan oleh Heaphey bahwa :
“Keputusan-keputusan
seringkali tidak dibuat di lapangan
dan segala petunjuk pelaksanaan (juklak) serta petunjuk teknis (juknis) selalu
berasal dari kantor-kantor pusat departemen. Administrator di lapangan hanya
menerima sedikit tanggung jawab mengenai apa yang harus mereka kerjakan”.
Bahwa masih banyaknya masyarakat Kepulauan
Riau yang menolak dibangunnya Pulau Dompak sebagai
Pusat Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau, hal ini dibuktikan dengan berbagai
tindakan yang mereka lakukan dan dinyatakan dalam komitmen bersama dalam bentuk menyampaikan SOMASI kepada Gubernur dan DPRD Provinsi Kepulauan Riau.
Adapun dasar SOMASI Masyarakat Provinsi
Kepulauan Riau pada Gubernur dan DPRD Kepulauan Riau dengan permintaan
penghentian pembangunan Pusat Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau di Dompak
tersebut adalah :
1.
Bahwa kami adalah stakeholder/pemilik Provinsi Kepulauan Riau yang telah
dibuktikan dengan kami mengikuti Pemilu dan memilih saudara-saudara sebagai
anggota DPRD Kepri.
2.
Bahwa kami menolak dan merasa keberatan adanya pembangunan kantor pusat
Pemerintahan Provinsi Kepri tersebut karena telah melanggar ketentuan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
3.
Bahwa tindakan pembangunan tersebut telah melanggar Undang-Undang Dasar
1945 serta prinsip-prinsip tentang pembangunan yang berwawasan lingkungan serta
melanggar Undang-Undang Lingkungan, Undang-Undang HAM, Undang-Undang pokok
Agraria serta Peraturan Menteri Agraria tentang aturan penggunaan lahan untuk
kepentingan pembangunan.
4.
Bahwa proses program pelaksanaan pembangunan tersebut tidak didasari oleh
study kelayakan, sosialisasi dan dengar pendapat dengan masyarakat, dan tidak
ada persetujuan dari DPRD Kepri dilokasi yang akan dibangun sekarang.
5.
Bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang melanggar Undang-Undang
Pidana, Perdata, Korupsi, Undang-Undang Tata Usaha Negara serta pelanggaran
terhadap sistem ketatanegaraan.
6.
Bahwa dengan pembangunan tersebut,
masyarakat Dompak sangat dirugikan karena menghilangkan tempat tinggal dan mata
pencaharian serta fasilitas umum lainnya yang sudah dimiliki masyarakat Dompak.
7.
Bahwa lahan tersebut merupakan Hutan Produksi Konversi yang merupakan
sebagai alat penyangga stabilitas lingkungan alam, yang seharusnya dilindungi
dan dilestarikan untuk mencegah adanya Global
Warming, dimana wilayah hutan di Republik Indonesia menjadi sorotan
Internasional dan adanya kesepakatan-kesepakatan yang telah ditandatangani
Pemerintah Indonesia kepada internasional yang seharusnya Pemerintah Provinsi
Kepri mendukung program tersebut agar Provinsi Kepri tidak dituduh sebagai
pelanggar dan perusak lingkungan serta penyebab panas bumi untuk kawasan
wilayah Indonesia dan Negara-Negara yang berada di sekitar Provinsi Kepri.
8.
Bahwa lokasi tersebut merupakan hutan yang belum mendapat izin dari Menteri
Kehutanan Republik Indonesia.
9.
Bahwa Kepri merupakan wilayah Kepulauan yang lebih besar lautan daripada
daratan, maka pembangunan kantor pusat Pemerintahan Provinsi Kepri adalah satu
upaya yang sia-sia dan merugikan masyarakat yang seharusnya dana yang sangat
besar tersebut digunakan untuk membangun ekonomi, pendidikan serta
kesejahteraan masyarakat lainnya.
10. Bahwa kantor Gubernur Kepri yang digunakan
sekarang (ex.kantor Bupati Bintan) amsih dianggap layak sebagai pusat
pemerintahan, dan apabila hendak dilakukan renovasi guna memenuhi jumlah
kebutuhan ruang kantor yang diperlukan, maka biayanya tidak terlalu mahal dan
wajar untuk sebuah perkantoran pemerintahan.
11. Bahwa patut dipertanyakan atas dasar apa
Pemerintah Provinsi Kepri telah melakukan lelang Prakualifikasi terhadap
proyek-proyek pembangunan di Pulau Dompak, padahal kita ketahui bahwa PERDA nya
belum disahkan oleh DPRD Kepri, oleh karena itu prosesi pelelangan proyek
tersebut adalah cacat hukum.
12. Berdasarkan hal tersebut diatas, bahwa perbuatan
yang dilakukan oleh saudara-saudara adalah merupakan tindakan yang melawan
hukum dan karena itu kami MENSOMASI saudara dan minta saudara untuk tidak
melaksanakan pembangunan kantor Pemerintahan Provinsi Kepri di Pulau Dompak,
serta diminta kepada saudara anggota DPRD Kepri untuk melakukan hak interpelasi
dan pengawasan serta memerintahkan untuk menghentikan pembangunan tersebut. Dan
jika saudara tidak melaksanakan permintaan kami ini dalam waktu 3 (tiga) hari
sejak tanggal surat ini, maka kami akan menyampaikan SOMASI II dan SOMASI III,
dan apabila tidak dilaksanakan juga, maka kami akan melakukan :
a.
Akan membuka posko-posko Referendum untuk
mencabut hak pilih rakyat Kepri.
b.
Kami akan memproses perkara ini secara Undang-Undang Pidana, Perdata,
Korupsi dan Mahkamah Konstitusi.
Masyarakat Kepulauan Riau yang tergabung
dalam Lembaga Swadaya Masyarakat Kepulauan Riau Center (LSM Kepri Center)
secara terbuka menyampaikan
keberatan dan penolakan atas kebijakan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dibawah kepemimpinan Ismeth Abdullah dan
HM.Sani (periode 2005-2010) yang akan segera melakukan pembangunan secara besar-besaran berbagai
fasilitas perkantoran di Pulau Dompak yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan
Provinsi Kepulauan Riau. Adapun yang menjadi
alasan penolakan LSM
Kepri Center
tersebut diantaranya sebagai berikut :
1) Secara Sosiologis, bahwa masih banyak masyarakat miskin di
Kepulauan Riau yang tidak mendapat sentuhan pembangunan dari Provinsi Kepulauan
Riau yang baru berumur 2 tahun ini sejak terbentuk. Masih banyak puskesmas yang
sangat diperlukan masyarakat, namun tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan
dengan baik dikarenakan terbatasnya fasilitas dan tidak tersedianya tenaga
medis yang memadai. Apabila pemerintah Provinsi Kepulauan Riau tetap memaksakan
penggunaan dana APBD yang mencapai 2
Triliun Rupiah lebih hanya untuk membangun kantor-kantor di Pulau Dompak yang
sama sekali tidak menyentuh masyarakat, maka akan bertambahlah kemiskinan di
Kepulauan Riau dan akan terlantarlah penyediaan pelayanan untuk mensejahterakan
masyarakat karena dana APBD terkuras untuk pembangunan tersebut.
2) Secara Ekonomis, bahwa
saat ini Pemerintah Kabupaten Bintan akan membangun pusat pemerintahan di Bintan Buyu. Apabila
pemerintah Kabupaten Bintan pindah nantinya, maka akan banyak sekali
gedung-gedung perkantoran yang akan mereka tinggalkan dan sangat layak untuk
dijadikan perkantoran Provinsi Kepulauan Riau. Begitu juga dengan kantor
Gubernur saat ini (eks kantor Bupati Bintan), masih tersedia lahan yang memadai
untuk dikembangkan sebagai kantor Gubernur Kepulauan Riau. Maka sangat
mengherankan mengapa pemerintah Provinsi Kepulauan Riau mau menguras triliunan rupiah dana APBD hanya
untuk membangun perkantoran di pulau Dompak?.
3) Secara Geografis, bahwa apabila pulau Dompak yang letaknya
terpisah daratan dengan Tanjungpinang di jadikan sebagai pusat pemerintahan,
maka akan menjauhkan dari masyarakat yang berakibat sulitnya masyarakat
Kepulauan Riau untuk mendapatkan pelayanan dan berurusan dengan pemerintahan
Provinsi Kepulauan Riau. Padahal tujuan dibentuknya Provinsi Kepualaun Riau
adalah untuk memperpendek rentang kendali guna memberikan pelayanan yang mudah
kepada masyarakat.
4) Secara Yuridis, ini adalah hal terpenting bahwa secara hukum
sesuai dengan Keputusan Menteri
kehutanan no. 173/KPTS/II/ 1986 bahwa pulau dompak adalah kawasan Hutan
Konversi dan Hutan Produksi Terbatas, maka apabila membangun dikawasan tersebut
adalah merupakan tindak pidana.
Alasan Yuridis yang berkembang ditengah-tengah masyarakat
Kepulauan Riau menyebutkan bahwa kawasan Pulau Dompak adalah termasuk kawasan
Hutan Produksi Konversi (HPK), ada lagi yang mengatakan pulau Dompak berstatus
Hutan Kesepakatan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka LSM Kepri Center
meminta penjelasan tentang status hukum pulau Dompak (wilayah Pemerintah Kota
Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau, dahulu dalam Provinsi Riau).
Berdasarkan latar belakang permasalahan kebijakan publik yang
dikeluarkan oleh Gubernur bersama DPRD Kepri tentang pusat Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau di Dompak maka dalam kesempatan ini penulis tertarik melakukan
kajian akademis yuridis dengan judul “Pemborosan dan Penolakan
Pembangunan Pusat Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau Di Dompak”.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan kebijakan publik seperti yang
telah dijelaskan tersebut, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Kebijakan Gubernur Kepri dan DPRD Kepri meneruskan Pembangunan Pusat Pemerintahan Provinsi
Kepulauan Riau Di Dompak?
2. Pemborosan APBD Kepri pada Pembangunan Pusat
Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau Di Dompak?
BAB II
PEMBAHASAN DAN ANALISIS
2.1
Kebijakan Pemerintahan Kepulauan Riau
Pembangunan Pulau Dompak merupakan suatu
kebutuhan bagi masyarakat dan bukan kemewahan ataupun pemborosan. Itulah
perihal jawaban Gubernur Provinsi Kepulauan Riau menanggapi surat Badan
Perjuangan Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (BP3KR) dengan Nomor surat
No.102/BP3KR/VII/07 tanggal 25 Juli 2007 tentang Pemborosan pembangunan Dompak.
Bukan suatu kemewahan jika kita membangun
pusat Pemerintahan Provinsi Kepri di pulau Dompak, karena dengan dibangunnya
pusat pemerintahan itu disuatu lokasi khusus dan saling berdekatan, maka dapat
memudahkan koordinasi antar SKPD dan antara SKPD dengan Gubernur. Serta untuk
mengantisipasi kedepannya wilayah Provinsi Kepulauan Riau merupakan wilayah
yang sangat strategis dalam rangka percepatan pertumbuhan ekonomi dunia, yang
mana hasil pembangunan ini akan dinikmati oleh seluruh masyarakat. Dan tak
kalah pentingnya dengan dipercepatnya pembangunan infrastruktur Pemerintahan
Provinsi Kepulauan Riau di pulau Dompak dapat memperlancar tingkat pelayanan
dimasyarakat, disamping itu dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan
masyarakat di Tanjungpinang Khususnya.
Bahwa penetapan pulau Dompak sebagai pusat perkantoran
Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau telah dilakukan melalui
proses-proses penelitian dan pengkajian yang cermat dari berbagai aspek dan
mengacu pada :
1.
Adanya Nota Kesepakatan
antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsii Kepulauan Riau No: 066/UM/NK/2005-09/160/I/2005, tanggal 19 Januari
2005, tentang Arah dan Kebijakan Umum
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau Tahun Anggaran 2005
yang ditanda tangani oleh Pejabat Gubernur Provinsi Kepulauan Riau dan Ketua
DPRD Provinsi Kepulauan Riau. Pada Bab IV dijelaskan bahwa Prioritas Utama pada
urutan yang pertama kali adalah persiapan sarana dan prasarana infrastruktur
Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau.
2.
Adanya Nota Kesepakatan
antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi Kepulauan Riau No : 07/MOU/XII/2005-341/160/XII/2005, tanggal 12
November 2005, tentang Arah dan Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) Provinsi Kepulauan Riau Tahun Anggaran 2006 yang ditanda tangani
oleh Gubernur Provinsi Kepulauan Riau dan Ketua DPRD Provinsi Kepulauan Riau.
Pada Bab II dijelaskan bahwa sesuai dengan amanah Undang-Undang No. 25 Tahun
2002, bahwa Pusat Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau berkedudukan di
Tanjungpinang. Oleh karena itu untuk menjalankan fungsi, peran dan kewenangan
Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau guna memberikan pelayanan kepada masyarakat
secara optimal maka perlu dengan segera melaksanakan pembangunan prasarana dan
sarana kantor Pemerintahan di Tanjungpinang secara bertahap dan berkelanjutan.
Bab IV arah kebijakan prioritas, dijelaskan pula bahwa peningkatan prasarana
dan sarana Pemerintahan, Pembangunan/ Penyediaan Prasarana dan saran
Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau yang permanen dan bertahap.
3.
Nota kesepakatan antara
Pemprov Kepri dan DPRD Kepri No : 01/MOU/I/2007 dan No : 01/160/MOU-DPRD/1/2007
tanggal 6 Januari 2007 tentang penetapan Pusat Perkantoran Pemprov Kepri.
4.
Adanya persetujuan Walikota
Tanjungpinang, SK No : 30 tahun 2007 dan diperkuat PERDA Kota Tanjungpinang No
: 2 tahun 2007 tentang rencana umum tata ruang Kota Tanjungpinang sebagaimana
di isyaratkan dalam Peraturan Presiden No : 36 tahun 2005.
5.
Hasil analisis mengenai
dampak lingkungan (an environmental
impact assessment atau AMDAL) yaitu hasil studi mengenai dampak suatu
kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan yang telah dilakukan oleh LAPI Institut Teknologi
Bandung (ITB), yaitu sesuai dengan pasal 1 butir 1 AMDAL-86 .
Bahwa pembangunan sarana prasarana perkantoran Prov. Kepri yang
dipusatkan di Pulau Dompak tidak dapat ditangguhkan lagi dan dinilai sudah
sangat mendesak berdasarkan beberapa pertimbangan dan alasan-alasan sbb : Bahwa
gedung ex. Bupati Kab. Bintan seluas 4900 M2 di jalan Basuki Rahmat
yang dipinjam pakai untuk Kantor Gubernur Kepri tidak dapat menampung seluruh
kegiatan kerja dari SKPD Prov. Kepri. Dalam kenyataannya hanya dapat dipergunakan/ditemapti
untuk 12 Instansi Sekretariat Daerah Prov.Kepri. Beberapa SKPD menempati gedung
Ex. Balai Latihan Kerja (BLK) milik Kab. Bintan dengan luas 3517 M2
dengan kondisi yang tidak memenuhi syarat. Sedangkan beberapa SKPD lainnya
menyewa Ruko. Keberadaan SKPD ini menggunakan biaya yang cukup besar dank arena
terpisah dari kantor Gubernur dinilai tidak efesien dan efektif dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Berdasarkan Permendagri No.7 tahun 2006
tanggal 26 maret 2006, kebutuhan ruang kerja SKPD untuk Provinsi adalah 29.222
M2. Sementara ruang kerja yang dipakai oleh Pemprov Kepri adalah
12.467 M2. Terdapat 12 Ruang kerja Sekretariat Daerah Provinsi, dan
ternyata sekitar 60% ruangan kerja Pemprov Kepri berada diluar kantor Gubernur
dengan total 18 SKPD, yang jaraknya tidak saling berdekatan, hal ini sangat
menyulitkan komunikasi. Maka kalau dilihat perbandingannya, sarana ruangan
kerja Pemerintahan yang baru dimiliki adalah hanya sebesar 40%.
Bahwa pembangunan yang akan dilaksanakan dipulau dompak adalah
mempergunakan system multiyears yang dibayar secara 4 kali angsuran, sehingga
tidak mengganggu pembelanjaan public lainnya karena angsuran yang dibayarkan
hanya sekitar 30% dari total APBD Prov.Kepri. sedangkan untuk biaya poendidikan
selama 2 tahun ini Pemrpov Kepri telah menganggarkan sebesar 20% dari total
APBD dan hal ini tidak akan dikurangi. Disamping itu 50% dari total APBD Prov.
Kepri telah dianggarkan pula untuk belanja lain-lain. Seperti kesehatan,
percepatan pembangunan, saran prasarana penunjang ekonomi desa yang tertinggal
selama 2 tahun ini sudah dilaksanakan dengan program ini, termasuk pula program
bantuan permodalan bagi koperasi, usaha kecil dan mikro, yang semuanya akan
tetap dijalankan dan tidak terganggu dengan pelaksanaan di kawasan pulau dompak
tersebut.
Dengan system multiyeras tersebut
jelaslah bahwa kebijakan Pemprov. Kepri untuk melaksanakan pembangunan di pulau
dompak, biaya-biaya pembangunan tidak saja bersumber kepada APBD Pro. Kepri,
tapi juga dari sumber-sumber lainnya yang dimungkinkan dengan ketentuan
perundang-Undangan yang berlaku.
Berdasarkan Keputusan Menteri Pemukiman dan
Prasarana Wilayah No.332/KPTS/M/2002, tanggal 21 Agustus tahun 2002, tentang
Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara, pasal 3 ayat (1) huruf b
menyebutkan bahwa tahapan Pembangunan Bangunan Gedung Negara terdiri dari :
a. Tahap Persiapan;
b. Tahap Perencanaan Konstruksi;
c. Tahap Pelaksanaan Konstruksi;
d. Pendaftaran Bangunan Gedung Negara.
Tahap Perencanaan Konstruksi meliputi : a)
Perencanaan Makro Kawasan (masterplan) dan
Perencanaan Mikro Kawasan (Rencana Tata
Ruang Bangunan dan Lingkungan) yang menjadi induk dari seluruh perencanaan
yang lebih detail; b) perencanaan teknis dari masing-masing bangunan dan
infrastruktur penunjang yang lebih dikenal dengan sebutan DED (Detail Engineering and Design).
Untung menghitung besarnya anggaran
perencanaan konstruksi (masterplan dan
DED) terdapat dua ketentuan yakni Keputusan Menteri KIMPRASWIL
No.332/KPTS/M/2002 tanggal 21 Agustus tahun 2002, dan Surat Edaran Bersama
Bappenas dan Departemen Keuangan RI No.1203/D.II/03/2000 -SE-38/A/2000, tanggal
17 Maret 2000, tentang Petunjuk Penyusunan Rencana Anggaran Biaya (RAB) untuk
jasa konsultasi dihitung dari Biaya Langsung Personil dan Biaya Langsung Non
Personil.
Urgensinya pembangunan di pulau dompak adalah
mengingat di Tanjungpinang sulit untuk mencari lahan yang luas dalam satu
kesatuan, yakni untuk memberikan tempat pembangunan Ruang Kerja 18 SKPD (Satuan
Kerja Perangkat Daerah) dan 12 Sekretariat Daerah Provinsi, sarana dan
Prasarana yang dibangun Pemprov Kepri (11 pembangunan), sarana yang dibangun
intansi pusat (8 kantor), dan sarana yang dibangun pihak swasta (100% dana
swasta). Sedangkan Provinsi Kepulauan Riau sangat memerlukan lahan untuk
membangun pusat pemerintahan sesuai dengan kebutuhan.
Maka Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau
mendukung keputusan DPRD Kepri agar pulau Dompak menjadi pilihan lokasi pusat
Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau. Lagipula di pulau Dompak harga tanah
relatif tidak mahal, jauh lebih murah bila dibandingkan di daratan Kota
Tanjungpinang, juga lebih murah dari bukit Senggarang, yang sebelumnya
diusulkan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau namun tidak disepakati DPRD Kepri.
Setelah dihitung berdasarkan ketentuan
tersebut, maka terdapat perbedaan yang sangat besar nilainya, sebagaimana dapat
dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini.
Tabel 2.1
No
|
Kegiatan
|
Estimasi
biaya fisik (dalam ribu)
|
Biaya
perencanaan
|
Kepmen
No.332 (dalam ribu)
|
SE
Bappenas & Dep.Keuangan (dalam ribu)
|
1
|
Pembangunan perkantoran Pemprov Kepri (termasuk islamic center)
|
455.898.890
|
10.257.725
|
2,25%
|
4.300.000
|
2
|
Pembangunan jalan di pulau dompak
|
306.000.000
|
5.503.162
|
2,25%
|
1.500.000
|
3
|
Pembangunan 3 (tiga) buah jembatan
|
244.585.000
|
6.885.000
|
2,25%
|
2.500.000
|
4
|
Pembangunan utilitas kota
|
278.012.800
|
6.255.288
|
2,25%
|
1.700.000
|
5
|
Pembangunan prasarana pendukung
|
83.236.655
|
2.080.916
|
2,50%
|
1.200.000
|
6
|
Pembangunan gedung universitas
|
50.000.000
|
1.250.000
|
2,50%
|
500.000
|
7
|
Pembangunan sport center
|
145.000.000
|
3.364.000
|
2,32%
|
1.500.000
|
8
|
Pembangunan medical center
|
30.000.000
|
816.000
|
2,72%
|
300.000
|
9
|
Pembangunan terminal ferry
|
50.000.000
|
1.250.000
|
2,50%
|
500.000
|
10
|
Pembangunan lembaga adat & kesenian
|
20.000.000
|
544.000
|
2,72%
|
200.000
|
11
|
Penataan kawasan dan ornamen jalan
|
156.766.655
|
3.636.986
|
2,32%
|
1.200.000
|
|
JUMLAH
|
1.819.500.000
|
41.843.077
|
|
15.400.000
|
Sumber : Dinas
Pekerjaan Umum (PU) Kepulauan Riau, 2007
2.2
Tinjauan Pustaka dan Analisis
Kebijakan publik terdiri dari dua kata yakni
kebijakan dan publik. Kata kebijakan merupakan terjemahan dari kata Inggris
policy artinya politik, siasat, kebijaksanaan. Dalam
pembahasan ini kebijakan dibedakan dengan kebijaksanaan. Menurut M.Irfan
Islamy, policy diterjemahkan dengan kebijakan yang berbeda artinya dengan
wisdom yang artinya kebijaksanaan. Pengertian kebijaksanaan memerlukan
pertimbangan-pertimbangan lebih jauh lagi, sedangkan kebijakan mencakup aturan-aturan yang
ada didalamnya (Islamy,1999:13).
Policy atau
kebijakan ini “tertuang dalam dokumen resmi .... Bahkan dalam beberapa bentuk
peraturan hukum, ... misalnya di dalam UU, PP, Keppres, Peraturan Menteri
(Permen), Perda dan lain-lain”. Dengan demikian,
kebijakan (policy) adalah
“seperangkat keputusan yang diambil oleh pelaku-pelaku politik dalam rangka
memilih tujuan dan bagaimana cara untuk pencapaian tujuan”. Kata publik
mempunyai makna atau pengertian yang dapat berbeda dengan pengertian
masyarakat. Perbedaan pengertiannya adalah :
Masyarakat diartikan sebagai sistem antar
hubungan sosial dimana manusia hidup dan tinggal secara bersama-sama. Di dalam
masyarakat tersebut terdapat norma-norma atau nilai-nilai tertentu yang
mengikat atau membatasi kehidupan anggota-anggotanya. Dilain pihak kata publik
diartikan sebagai kumpulan orang-orang yang menaruh perhatian, minat atau kepentingan
yang sama. Tidak ada norma atau nilai yang mengikat/membatasi perilaku publik
sebagaimana halnya pada masyarakat karena publik itu sulit dikenali sifat-sifat
kepribadiannya (identifikasinya) secara jelas. Satu hal yang menonjol adalah
mereka mempunyai perhatian atau minat yang sama (Islamy : 1.6).
Bahwa saat ini Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau sedang melakukan
Pembangunan Pusat Pemerintahan yang berlokasi di Pulau Dompak, telah kami amati
bahwa sesuai dengan KEPMENHUT 173/Kpts/II/1986, Tentang Penunjukan Areal Hutan di
Wilayah Provinsi Dati I Riau Sebagai Kawasan Hutan. bahwa kawasan tersebut
sebagai kawasan hutan konversi dan kawasan hutan produksi terbatas, sehingga
patut diduga telah terjadi penyalahgunaan lahan tersebut. Sehubungan dengan itu
maka kami memohon kepada bapak menteri kehutanan untuk :
1.
Memberikan penjelasan kepada
kami, tentang Status Hukum kawasan Pulau Dompak yang saat ini sedang dibangun
sebagai Pusat Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau.
2.
Melakukan pencegahan dan
penindakan kepada pihak-pihak terkait (Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau),
jika terjadi penyalahgunaan lahan di Pulau Dompak.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan
bahwa kebijakan publik dapat diartikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah yang mempunyai dampak terhadap banyak orang. Sehubungan
dengan ini Mac Rae dan Wilde mengartikan kebijakan publik sebagai :
Serangkaian tindakan yang dipilih oleh
Pemerintah yang mempunyai pengaruh penting terhadap sejumlah besar orang.
Pengertian ini mengandung maksud bahwa kebijakan itu terdiri dari berbagai
kegiatan yang terangkai, yang merupakan pilihan Pemerintah dan kebijakan
tersebut mempunyai pengaruh dan dampak terhadap sejumlah besar orang. Karena
kebijakan merupakan suatu rangkaian tindakan, maka suatu contoh misalnya
keputusan seorang Rektor menerima seorang mahasiswa pindahan dari universitas
lain, maka itu tidak dapat disebut sebagai kebijakan. Tetapi bila
keputusan-keputusan tersebut berkenaan dengan penentuan syarat-syarat yang
diperlukan bagi semua mahasiswa pindahan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
masalah itu maka hal tersebut baru dapat disebut sebagai kebijakan. Jadi
kebijakan itu harus terdiri dari berbagai kegiatan dan berdampak terhadap
banyak orang (Islamy : 1.7).
Berkaitan dengan kebijakan publik ini, Thomas
R. Dye mengemukakan bahwa :
Public policy is whatever governments choose
to do or not to do. Governments do many thinks; they regulate conflict within
society; they organize society to carry on conflict with other societies; they
distribute a great variety of symbolic rewards and materials services to
members of the society; and they extract money from society, most often in the
form of taxes. Thus public policies may be regulative, organizational,
distributive, or extractive – or all these things at once.
Pada prinsipnya kebijakan publik itu meliputi
apapun yang dipilih atau tidak dipilih oleh Pemerintah Daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.
Lebih lanjut Thomas R. Dye mengemukakan bahwa
“Public policies may deal with a wide
variety of substantive areas defense, foreign affairs, education, welfare,
police, highways, taxation, housing, social security, health, economic
opportunity, urban development, inflation and recession, and so on”
Demikian juga, Easton mengemukakan kebijakan
publik dapat diartikan sebagai “pengalokasin nilai-nilai secara paksa (sah)
kepada seluruh anggota masyarakat” (Islamy : 1.9). Maksudnya, hanya
Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah yang dapat melakukan tindakan-tindaknan
secara sah untuk memaksakan nilai-nilai kepada masyarakatnya dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikatakan
bahwa kebijakan publik adalah “serangkaian tindakan yang dipilih dan dialokasikan
secara sah oleh pemerintah/negara kepada seluruh anggota masyarakat yang
mempunyai tujuan tertentu demi kepentingan publik” (Islamy : 1.9). Definisi kebijakan publik
seperti ini mempunyai implikasi sebagai berikut :
1)
Kebijakan publik itu berbentuk pilihan tindakan-tindakan pemerintah;
2)
Tindakan-tindakan pemerintah itu dialokasikan kepada seluruh masyarakat
sehingga bersifat mengikat;
3)
Tindakan-tindakan pemerintah itu mempunyai tujuan-tujuan tertentu;
4)
Tindakan-tindakan pemerintah itu selalu diorientasikan terhadap
terpenuhinya kepentingan publik.
Jadi, yang menjadi fokus pengkajian dalam
kebijakan publik adalah kepentingan publik. Oleh karenanya, dalam konteks ini
“kebijakan publik dan pengambil kebijakannya itu (birokrat) harus memiliki
orientasi pada kepentingan publik yang kuat atau Islamy menyebutnya dengan
semangat kepublikan”.
Beberapa temuan BP3KR menunjukan pemborosan hanya untuk membuat
masterplan (design) tentang beberapa
sektor yang akan dibangun di Pulaun Dompak, diantaranya :
1. DED Jembatan Pulau Dompak Rp. 2.500.000.000
- Master Plan Pulau
Dompak Rp. 3.000.000.000
- DED Terminal Ferry
Pelabuhan Dompak Rp. 600.000.000
- DED Kantor Pemprov
Kepri Rp. 4.000.000.000
- DED Landscaping
Pulau Dompak Rp. 1.200.000.000
- DED Jaringan jalan
Pulau Dompak Rp. 1.000.000.000
Total Rp.12.600.000.000
Ini
menunjukan suatu angka yang sangat boros hanya untuk merancang suatu
pembangunan. Belum terbayang berapa pula dana yang akan digunakan untuk
membangun fisik Dompak tersebu, sehingga minimal dana yang dapat dinikmati
langsung untuk mensejahtrakan masyarakat Kepulauan Riau.
Pada kesempatan tersebut Islamy mengemukakan
bahwa : Kebanyakan warga negara menaruh banyak harapan pada administrator
publiknya yaitu dengan harapan agar mereka selalu memberikan pelayanan yang
sebaik-baiknya kepada publik. Untuk dapat menjadi abdi masyarakat yang selalu
memperhatikan kepentingan publik, maka administrator publik perlu memiliki
semangat “kepublikan” (the spirit of
publicness). Semangat responsibilitas administratif dan politis harus
melekat juga pada diri administrator publik, sehingga ia dapat menjalankan
peran profesionalnya dengan baik. Kalau kepentingan publik adalah sentral maka
menjadikan administrator publik sebagai profesional yang proaktif adalah mutlak
yaitu administrator publik yang selalu berusaha meningkatkan responsibilitas
obyektif dan subyektifnya serta meningkatkan aktualisasi dirinya”.
Berdasarkan uraian ini, dapat dikatakan bahwa orientasi
dari kebijakan publik adalah kepentingan publik. Dengan demikian dapat
diartikan pula bahwa : Studi ini pada tataran konseptual harus memiliki
keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan masyarakat, dan berorientasi pada
pelayanan kepentingan tersebut. Sebab, seperti telah sering diungkap dimuka
bahwa studi kebijakan publik adalah sebuah formula problem solver. Sementara
problem yang sesungguhnya itu ada di tengah-tengah riil kehidupan bermasyarakat
, artinya problem kebijakan itu tumbuh ditengah-tengah masyarakat. Dan oleh
karena itulah ia juga tumbuh bersama dengan kepentingan publik itu sendiri”.
Kebijakan publik secara mendasar merupakan
upaya yang dilandasi pemikiran rasional untuk mencapai suatu tujuan ideal
diantaranya adalah : Untuk mendapatkan keadilan, efisiensi, keamanan, kebebasan
serta tujuan-tujuan dari suatu komunitas itu sendiri. Keadilan pada konteks ini
diartikan sebagai memperlakukan seolah-olah seperti sama (treating likes alike), sedangkan efisiensi diartikan usaha
mendapatkan output terbanyak dari sejumlah input tertentu. Keamanan diartikan
pemuasan minimum atas kebutuhan manusia dan kebebasan diartikan sebagai
kemampuan untuk melakukan sesuatu yang diinginkan sepanjang tidak mengganggu
individu lain.
Poin-poin tersebut seringkali dijadikan
sebagai “justifikasi dari kebijakan, tindakan pemerintah, atau juga
pertimbangan apakah pemerintah akan segera melakukan sesuatu atau tidak
melakukannya. Selain itu, poin-poin ini juga dipakai sebagai kriteria untuk
mengevaluasi program-program publik dalam hal ini poin-poin tersebut berfungsi
sebagai standar atas program yang dievaluasi tersebut” (Wibowo : 2004).
Konsep welfare state atau social service state, yaitu negara yang pemerintahannya
bertanggungjawab penuh untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar sosial dan
ekonomi dari setiap warga negara agar mencapai suatu standar hidup yang
minimal.
Konsep welfare state ini merupakan ciri khas dari suatu pemerintahan modern
atau negara hukum modern dimana terdapat pengakuan dan penerimaan terhadap
peranan administrasi negara sebagai kekuatan yang aktif dalam rangka membentuk
atau menciptakan kondisi sosial ekonomi dan lingkungan.
Pemerintah
Negara selaku integritas kekuasaan massa harus terus menyesuaikan diri dengan
perubahan dan perkembangan masyarakat atau sistem sosialnya sehingga dapat
mempertahankan keseimbangan antara peranan atau penyelenggaraan fungsinya
dengan tujuan-tujuan yang akan dicapai. Dalam upaya mencapai hal tersebut,
tidak saja diperlukan keselarasan atas tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh
kelompok-kelompok sosial maupun kelompok ekonomi yang terdapat pada negara,
akan tetapi juga kreativitas untuk menciptakan secara terarah berbagai kondisi
kesejahteraan sosial yang dikehendaki masyarakat.
Perkembangan
peranan dan fungsi administrasi negara membawa dampak terjadinya setidak-tidaknya
dua masalah penting yaitu, Pertama, dengan makin
pesatnya pertambahan jumlah personal penyelenggara fungsi pelayanan publik,
maka diasumsikan akan terjadi peningkatan jumlah korban sebagai akibat
penekanan rezim pemerintahan. Hubungan asumsi seperti itu mungkin tercermin
dari kecenderungan semakin tingginya penyelewengan dan tindakan yang merugikan
rakyat dalam mencapai atau mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kedua, adalah
masalah yang lebih krusial yaitu kemungkinan terjadinya pemusatan kekuasaan
pada administrasi negara. Kemungkinan tersebut lebih terbuka dengan
diberikannya suatu “kebebasan” untuk bertindak atas inisiatif sendiri (freies Ermussen ; pauvoir discretionare)
guna menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi dan perlu segera
diselesaikan.
Untuk menghindari
dampak negatif dari perkembangan peranan dan fungsi administrasi negara
tersebut, maka konsep negara hukum modern menjadi suatu keharusan sebagaimana
dikatakan oleh FJ. Stahl dalam konsepsinya mengenai negara hukum yaitu :
“Negara harus menjadi negara hukum,
itulah semboyan dan sebenarnya juga menjadi daya pendorong perkembangan pada
zaman baru ini. Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan
batas-batas kegiatannya sebagaimana lingkungan (suasana) kebebasan warga negara
menurut hukum itu dan harus menjamin suasana kebebasan itu tanpa dapat
ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan akhlak dari segi
negara, juga langsung tidak lebih jauh daripada seharusnya menurut suasana
hukum”.
Konsep ini
kiranya sangat relevan dengan konsep welfare state dimana pengertian negara
hukum modern, bukan saja menjaga keamanan semata-mata tetapi secara aktif turut
serta dalam urusan kemasyarakatan demi kesejahteraan rakyat.
Negara
Indonesia jelas merupakan negara yang menerapkan konsep welfare state ini,
sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea ke empat yang
dijadikan sebagai landasan pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka
mewujudkan tujuan nasional yakni :
“Kemudian daripada itu untuk membentuk
pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Konsep
negara kesejahteraan sebagaimana tersurat pada pembukaan UUD 1945 alinea
keempat tersebut di atas diperkuat dengan pernyataan dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen ke IV tahun 2002 bahwa negara Indonesia
adalah Negara Hukum. Konsekuensi logis yang harus dihadapi sebagai negara hukum
dan negara kesejahteraan menurut Sjachran Basah, dalam menemukan pilihan
hukum mana yang harus dipakai dalam kehidupan masyarakat terutama di Indonesia,
maka conditio sine qua non hukum harus berpanca fungsi secara :
1.
Direktif, yaitu sebagai pengarah
dalam pembangunan untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan
tujuan kehidupan bernegara.
2.
Integratif, yaitu sebagai pembina
kesatuan bangsa.
3.
Stabilitatif, yaitu sebagai
pemelihara (termasuk kedalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga
keselarasan, keserasian, keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat.
4.
Perfektif, yaitu sebagai
penyempurna terhadap tindakan-tindakan administrasi negara maupun sikap tindak
warga dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
5.
Korektif, yaitu terhadap warga
negara maupun administrasi negara dalam mendapatkan keadilan.
Sejalan
dengan panca fungsi hukum tersebut, maka hukum harus dapat menjawab
permasalahan-permasalahan yang timbul akibat terjadinya perubahan-perubahan
yang mendasar didalam masyarakat terutama pada era globalisasi atau era
perdagangan bebas pada saat ini melalui proses industrialisasi dan transformasi
di bidang teknologi informasi. Pembangunan bidang ekonomi yang akan membawa
perubahan dan kemajuan dalam peradaban dan kesejahteraan masyarakat perlu
diikuti pembangunan dalam bidang hukum sebagai faktor determinan. Menurut
Sunaryati Hartono makna dari pembangunan dalam bidang hukum akan meliputi :
1.
Menyempurnakan (membuat
sesuatu yang lebih baik),
2.
Mengubah agar menjadi lebih
baik dan modern,
3.
Mengadakan sesuatu yang
sebelumnya belum ada, atau
4.
Meniadakan sesuatu yang
terdapat dalam sistem lama, karena tidak diperlukan dan tidak cocok dengan
sistem baru.
Pembangunan
hukum yang meliputi keempat usaha tersebut merupakan suatu proses dinamis yang
harus dilakukan terus menerus dan bahkan merupakan proses yang tidak akan
pernah selesai (never ending process)
karena setiap kemajuan akan menuntut perubahan-perubahan yang lebih maju dalam
masyarakat yang terus berubah. Satjipto Rahardjo menengarai hal ini dengan
menyatakan bahwa apabila berbicara menganai hukum, sasaran pembicaraan bukan
hanya berkisar pada hukum sebagai suatu sistem yang konsisten, logis dan
tertutup melainkan sebagai sarana untuk menyalurkan kebijakan-kebijakan di
dalam pembangunan atau perubahan masyarakat.
Sebagaimana
dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa “hukum sebagai sarana pembaharuan
masyarakat”.
Berdasarkan suatu anggapan bahwa hukum tidak hanya bertujuan untuk mencapai
ketertiban dan keadilan saja, akan tetapi dapat pula berfungsi sebagai sarana
untuk merubah atau memperbaharui masyarakat. Anggapan lain yang terkandung
dalam konsespsi hukum sebagai sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam arti
kaidah atau peraturan hukum memamng dapat berfungsi sebagai alat (pengatur)
atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia kearah yang
dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan.
Hukum
sebagaimana tersebut di atas, dapat didekati dari fungsi-fungsi dasar yang
dapat dikerjakan hukum di dalam masyarakat yang menunjukkan bahwa hukum
memperoleh fungsi yang sesuai dalam pembagian tugas di dalam keseluruhan
struktur sosial. Menurut E.A,Goebel, di dalam masyarakat, hukum mempunyai fungsi
:
1.
Menetapkan pola hubungan
angata anggota-anggota masyarakat dengan menunjukkan jenis-jenis tingkah laku
yang mana yang diperbolehkan dan yang mana yang dilarang ;
2.
Menentukan alokasi wewenang
memerinci siapa yang boleh melakukan paksaan, siapa yang harus menaatinya,
siapa yang memilih sanksi yang tepat dan efektif ;
3.
Menyelesaikan sengketa ;
4.
Memelihara kemampuan
masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisikondisi kehidupan yang
berubah, yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan esensial antara
anggota-anggota masyarakat.
Berkaitan
dengan fungsi hukum, H.L.A Hart mencoba merumuskan fungsi hukum dengan
mengemukakan bahwa inti dari suatu sistem hukum adalah aturan primer dan aturan
sekunder. Aturan primer merupakan ketentuan informal mengenai
kewajiban-kewajiban yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pergaulan hidup.
Menurut
Ronny Hanitijo Soemitrro, hukum mempunyai fungsi sebagai “a tool of social control”, artinya bahwa kontrol sosial merupakan
aspek normatif dari kehidupan sosial atau dapat disebut sebagai pemberi
definisi dari tingkah laku yang menyimpang serta akibat-akibatnya, seperti
larangan-larangan, tuntutan-tuntutan, pemidanaan dan pemberian ganti rugi.
Dari
penjelasan tersebut tampak bahwa hukum bukanlah satu-satunya alat pengendali
atau social control. Hukum hanyalah salah satu alat social control di dalam
masyarakat. Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial dapat diterangkan
sebagai fungsi hukum untuk menetapkan tingkah laku mana yang dianggap merupakan
penyimpangan terhadap aturan hukum dan apa sanksi atau tindakan yang dilakukan
oleh hukum jika terjadi penyimpangan tersebut. Oleh karena itu, Ronny Hanitijo
Soemitro menerangkan bahwa tingkah laku yang menyimpang merupakan tindakan yang
tergantung pada kontrol sosial. Ini berarti bahwa kontrol sosial menentukan
tingkah laku yang bagaimana yang merupakan tingkah laku yang menyimpang. Makin
tergantung tingkah laku itu pada kontrol sosial, makin berat nilai penyimpangan
pelakunya.
Berkenaan
dengan fungsi hukum sebagai sarana pengendalian sosial berdasarkan pendapat
Rony Hanitijo Soemitro dan J.S. Roucek tersebut, Achmad Ali menyimpulkan bahwa.
1.
Fungsi hukum sebagai alat
pengendali sosial tidaklah sendirian di dalam masyarakat, melainkan menjalankan
fungsi itu bersama-sama dengan pranata sosial lainnya yang juga melakukan
fungsi pengendalian sosial.
2.
Fungsi hukum sebagai alat
pengendali sosial merupakan fungsi “pasif”, artinya di sini hukum yang
menyesuaikan diri dengan kenyataan masyarakat.
Sehubungan
dengan hal itu, Achmad Ali berpendapat bahwa :
1.
Fungsi hukum sebagai alat
pengendali sosial, dapat dijalankan oleh sesuatu kekuasaan terpusat yang dewasa
ini berujud kekuasaan negara yang dilaksanakan oleh “the rulling class” atau
suatu “elit”. Hukumnya biasanya berwujud hukum tertulis atau
perundang-undangan.
2.
Fungsi hukum sebagai alat
pengendali sosial, dapat juga dijalankan sendiri “dari bawah” oleh masyarakat
itu sendiri. Hukumnya biasanya berwujud tidak tertulis atau hukum kebiasaan.
Terlaksana
atau tidaknya fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial, menurut Achmad Ali
ditentukan oleh dua hal, yaitu :
1. Faktor
aturan hukumnya sendiri ;
2. Faktor
pelaksana (orangnya) hukumnya.
Sebagai
undang-undang pada dasarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor 25
dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah merupakan sebuah produk hukum yang harus memiliki sisi kepastian hukum
sebagai sebuah syarat mutlaknya. Dengan adanya kepastian hukum tersebut, maka
konsekuensinya, apa yang diatur dalam produk hukum itu harus ditaati oleh
mereka yang dikenai oleh produk hukum itu untuk dilaksanakan dengan baik dan
benar.
Namun,
dalam kenyataannya seiring dengan implementasi kebijakan otonomi daerah ini
menghadapi permasalahan bahwa pemerintah di tingkat daerah dalam
mengimplementasikan kebijakan desentralisasi sering tidak sejalan dengan
peraturan perundang-undangan yang ada. Menurut Muchsin dan Fadillah Putra hal
yang harus dicatat bahwa :
Kebijakan
Publik yang diambil pemerintah di daerah, yang tidak sepenuhnya sejalan dengan
perundang-undangan yang ada, itu tidak sama sekali dimaksudkan untuk melanggar
hukum, melainkan mereka memandang bahwa kondisi yang ada di daerahnya belum
memungkinkan diterapkannya aturan hukum yang ada. Sehingga mereka menganggap
perlu adanya sebuah kebijakan di tingkat lokal yang lebih sesuai dengan
tuntutan, kondisi dan kebutuhan masyarakat lokal.
Kebijakan desentralisasi
yang diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah telah di implementasikan dalam sistem administrasi
publik baik di tingkat Pusat, Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Implementasi
kebijakan publik tersebut dalam kurun waktu 2001-2004 telah dievaluasi kembali
dan kedua Undang-Undang tersebut kemudian direvisi dengan Undang-Undang Otonomi
Daerah yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah. Melihat substansi undang-undang yang baru, nampak terjadinya
perubahan dan improvisasi sehingga otomatis akan membawa perubahan pada tahapan
implementasi kebijakan publik dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Di dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 14 telah ditegaskan secara
terperinci urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
kabupaten/kota yang meliputi 16 urusan wajib yaitu :
1. Perencanaan
dan pengendalian pembangunan ;
2. Perencanaan,
pemanfaatan dan pengawasan tata ruang ;
3. Penyelenggaraan
ketertiban umum dan ketentraman masyarakat ;
4. Penyediaan
sarana dan prasarana umum ;
5. Penanganan
bidang kesehatan ;
6. Penyelenggaraan
pendidikan ;
7. Penanggulangan
masalah sosial ;
8. Pelayanan
bidang ketenagakerjaan ;
9. Fasilitasi
pengambangan koperasi, usaha kecil dan menengah ;
10. Pengendalian
lingkungan hidup ;
11. Pelayanan
pertanahan ;
12. Pelayanan
kependudukan dan catatan sipil ;
13. Pelayanan
administrasi umum pemerintahan ;
14. Pelayanan
administrasi penanaman modal ;
15. Penyelenggaraan
pelayanan dasar lainnya ; dan
16. Urusan
wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Di samping urusan wajib tersebut, di dalam ayat (2) Pasal yang
sama dijelaskan pula mengenai urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan,
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Apabila dibandingkan dengan
kewenangan daerah kabupaten/kota yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999, maka urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan
kabupaten/kota menjadi lebih komprehensif bukan saja mencakup kewenangan
penyelenggaraan pemerintahan pada sektor-sektor tertentu, namun lebih mengarah
pada fungsi pelayanan publik dalam bidang-bidang kewenangan yang telah di
desentralisasikan. Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kewenangan
penyelenggaraan pemerintahan daerah khususnya kabupaten/ kota lebih mengarah
pada dimensi regulasi, fasilitasi dan pelayanan publik. Hal ini sesuai dengan
jiwa konsep otonomi daerah itu sendiri yaitu demokratisasi dan pemberdayaan
masyarakat.
Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga diadopsi kembali
asas umum penyelenggaraan negara yaitu : asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggaran negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas
proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan
asas efektivitas. Pencantuman kembali asas-asas umum penyelenggaraan negara di
dalam Undang-Undang ini tidak lain ingin mereduksi konsep good governance dalam
kebijakan desentralisasi dan penyelenggaraan otonomi daerah.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka implementasi kebijakan publik
desentralisasi ke depan harus menekankan prinsip-prinsip good governance pada fungsi-fungsi regulasi, pelayanan publik dan
pembangunan kesejahteraan masyarakat. Hal ini berarti kebijakan publik yang di
implementasikan dalam sistem administrasi publik di daerah kabupaten/kota
benar-benar menerapkan prinsip good
governance serta berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Desentralisasi harus mampu mendorong terjadinya layanan publik
yang lebih dekat dengan masyarakat yang membutuhkan. Kebijakan publik yang
dihasilkan, diharapkan dapat memangkas rentang birokrasi yang panjang untuk
menghindari penundaan dan penurunan kualitas dari layanan publik yang menjadi
kewajiban negara kepada warganya.
Keberhasilan proses desentralisasi dapat diukur dari kualitas
layanan publik yang semakin baik. Kebijakan desentralisasi yang hanya
dimaksudkan untuk menggantikan peran pemerintah pusat di daerah tanpa melakukan
perubahan pada transaksi sosial yang terjadi, maka sangat sulit diharapkan
terjadinya efek positif dari kebijakan publik tersebut oleh sebab itu perbaikan
kualitas layanan publik menjadi faktor yang determinan dalam implementasi
kebijakan desentralisasi.
Pelayanan publik juga merupakan bagian yang krusial dalam praktek
negara demokrasi, bahkan banyak ahli mengatakan bahwa pelayanan publik sebagai
demokrasi dalam artian yang sebenarnya karena demokrasi sebagai konsep hanya
dapat dirasakan dalam kualitas layanan yang diberikan oleh pemerintah kepada
rakyatnya. Dengan tingkat heterogenitas dan penyebaran yang luas, maka
sangatlah rentan bagi suatu pemerintahan dapat memenuhi kebutuhan layanan
masyarakat sesuai dengan tingkat kebutuhan apalagi tingkat kepuasan rakyat.
Dalam konteks ini layanan menjadi tolok ukur penting untuk melihat perjalanan
demokrasi dan desentralisasi. Dengan demikian demokrasi dan desentralisasi
harus dilihat dari kemampuan pemerintah dan pemerintah daerah dalam melakukan
transaksi sosial yang paling nyata dalam kehidupan sehari-hari yaitu layanan
publik.
Marsh dan Ian mengemukakan 2 (dua) perspektif yang penting diamati
dalam layanan publik yaitu : Pertama, dimensi service delivery agent (dinas atau unit
kerja pemerintah) dan Kedua, dimensi customer atau user (masyarakat yang
memanfaatkan). Berdasarkan dimensi pemberi layanan perlu diperhatikan tingkat
pencapaian kinerja yang meliputi layanan yang adil (dimensi ruang dan klas
sosial), kesiapan kerja dan mekanisme kerja (readiness),
harga terjangkau (affordable price),
prosedur sederhana dan dapat dipastikan waktu penyelesaiannya. Sementara itu
dari dimensi penerima layanan publik harus memiliki pemahaman dan reaktif
terhadap penyimpangan atau layanan tak berkualitas yang muncul dalam praktik
penyelenggaraan layanan publik. Keterlibatan aktif masyarakat baik dalam
mengawasi dan menyampaikan keluhan terhadap praktik penyelenggaraan layanan
publik menjadi faktor penting umpan balik bagi perbaikan kualitas layanan
publik dan memenuhi standar yang telah ditetapkan.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Berlakunya
hukum dimasyarakat akan berakibat terjadinya perubahan sosial pada masyarakat
itu sendiri. Dalam hal ini hukum tidak lagi hanya berfungsi untuk menjaga
“ketertiban” dalam masyarakat, akan tetapi masyarakat yang sedang membangun
yang berarti masyarakat yang sedang berubah dengan cepat, hukum harus membantu
proses perubahan masyarakat atau perubahan sosial itu.
Berdasarkan
kesimpulan dan pendapat Hukum Badan Perjuangan/Penyelaras Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (BP3KR) dan Lembaga
Kepulauan Center (LSM Kepri Center) serta Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS), Organisasi
Kepemudaan (OKP) menyimpulkan bahwa : Secara Sosiologis, bahwa masih banyak masyarakat miskin di
Kepulauan Riau yang tidak mendapat sentuhan pembangunan dari Provinsi Kepulauan
Riau yang baru berumur 2 tahun ini sejak terbentuk. Apabila pemerintah Provinsi
Kepulauan Riau tetap memaksakan penggunaan dana APBD yang mencapai 2 Triliun Rupiah lebih hanya
untuk membangun kantor-kantor di Pulau Dompak yang sama sekali tidak menyentuh
masyarakat, maka akan bertambahlah kemiskinan di Kepulauan Riau dan akan
terlantarlah penyediaan pelayanan untuk mensejahterakan masyarakat karena dana
APBD terkuras untuk pembangunan tersebut.
Secara Ekonomis, bahwa
saat ini Pemerintah Kabupaten Bintan akan membangun pusat pemerintahan di Bintan Buyu. Apabila pemerintah
Kabupaten Bintan pindah nantinya, maka akan banyak sekali gedung-gedung
perkantoran yang akan mereka tinggalkan dan sangat layak untuk dijadikan
perkantoran Provinsi Kepulauan Riau. Begitu juga dengan kantor Gubernur saat
ini (eks kantor Bupati Bintan), masih tersedia lahan yang memadai untuk
dikembangkan sebagai kantor Gubernur Kepulauan Riau.
Secara Geografis, bahwa apabila pulau Dompak yang letaknya
terpisah daratan dengan Tanjungpinang di jadikan sebagai pusat pemerintahan,
maka akan menjauhkan dari masyarakat yang berakibat sulitnya masyarakat
Kepulauan Riau untuk mendapatkan pelayanan dan berurusan dengan pemerintahan
Provinsi Kepulauan Riau. Padahal tujuan dibentuknya Provinsi Kepualaun Riau
adalah untuk memperpendek rentang kendali guna memberikan pelayanan yang mudah
kepada masyarakat.
Secara Yuridis, ini adalah hal terpenting bahwa secara hukum
sesuai dengan Keputusan Menteri
kehutanan no. 173/KPTS/II/ 1986 bahwa pulau dompak adalah kawasan Hutan
Konversi dan Hutan Produksi Terbatas, maka apabila membangun dikawasan tersebut
adalah merupakan tindak pidana.
Berdasarkan Permendagri No.7 tahun 2006
tanggal 26 maret 2006, kebutuhan ruang kerja SKPD untuk Provinsi adalah 29.222
M2. Sementara ruang kerja yang dipakai oleh Pemprov Kepri adalah
12.467 M2. Terdapat 12 Ruang kerja Sekretariat Daerah Provinsi, dan
ternyata sekitar 60% ruangan kerja Pemprov Kepri berada diluar kantor Gubernur
dengan total 18 SKPD, yang jaraknya tidak saling berdekatan, hal ini sangat
menyulitkan komunikasi. Maka kalau dilihat perbandingannya, sarana ruangan
kerja Pemerintahan yang baru dimiliki adalah hanya sebesar 40%.
Bahwa pembangunan yang akan dilaksanakan dipulau dompak adalah
mempergunakan system multiyears yang dibayar secara 4 kali angsuran, sehingga
tidak mengganggu pembelanjaan public lainnya karena angsuran yang dibayarkan
hanya sekitar 30% dari total APBD Prov.Kepri. sedangkan untuk biaya poendidikan
selama 2 tahun ini Pemrpov Kepri telah menganggarkan sebesar 20% dari total
APBD dan hal ini tidak akan dikurangi. Disamping itu 50% dari total APBD Prov.
Kepri telah dianggarkan pula untuk belanja lain-lain. Seperti kesehatan,
percepatan pembangunan, saran prasarana penunjang ekonomi desa yang tertinggal
selama 2 tahun ini sudah dilaksanakan dengan program ini, termasuk pula program
bantuan permodalan bagi koperasi, usaha kecil dan mikro, yang semuanya akan
tetap dijalankan dan tidak terganggu dengan pelaksanaan di kawasan pulau dompak
tersebut.
Dengan system multiyeras tersebut
jelaslah bahwa kebijakan Pemprov. Kepri untuk melaksanakan pembangunan di pulau
dompak, biaya-biaya pembangunan tidak saja bersumber kepada APBD Pro. Kepri,
tapi juga dari sumber-sumber lainnya yang dimungkinkan dengan ketentuan
perundang-Undangan yang berlaku.
Pemahaman
masyarakat tentang dasar hukum atau kebijakan publik yang ditetapkan menjadi
salah satu faktor penting untuk menjamin standar layanan publik yang
berkualitas. Pemahaman masyarakat tentang formulasi kebijakan publik yang
mengatur tentang prosedur dan mekanisme pemberian layanan publik dapat diukur
dari kemudahan masyarakat untuk memahami prosedur tersebut, kesiapan birokrasi
untuk memberikan kejelasan kepada masyarakat, informasi yang transparan tentang
standar pelayanan publik dimaksud serta perilaku petugas pelayanan publik
terhadap masyarakat dalam praktik penyelenggaraan layanan publik. Formulasi
kebijakan tersebut tentunya berada pada tahapan implementasi kebijakan publik
yang telah ditetapkan sebelumnya.
3.2
Saran
Pengkajian
dan pembahasan mengenai hukum harus bisa membaurkan diri dengan pembicaraan
tentang aksi-aksi sosial, tentang hukum sebagai proses dan sebagainya, termasuk
dengan benturan-benturan antara produk hukum dalam konteks kebijakan publik
yang dihasilkan dengan kebutuhan riil masyarakat umum yang memungkinkan menimbulkan
kesenjangan-kesenjangan tertentu antara aspek das sein dan das sollen.
Kehidupan
manusia dalam bermasyarakat, bernegara dan berbangsa tidak terlepas dari adanya
suatu aturan atau hukum sebagai rambu-rambu yang mengatur masyarakat dalam
menjalankan roda kehidupannya agar dapat berjalan dengan tertib. Sebagaimana
dalil yang dikenal dalam teori ilmu hukum bahwa “tiada masyarakat tanpa hukum”,
demikian pula masyarakat Indonesia tidak terlepas dari dalil tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,Achmad, Menguak
Tabir Hukum, Jakarta : Gunung Agung,2002.
Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum
Administrasi Negara, Jakarta : Ghalia Indonesia , 1986.
Basah, Sjachran, Tiga
Tulisan Tentang Hukum ,Bandung, : Armiko, 1986.
Hartono, Sunaryati, Hukum
Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bandung : Bina Cipta, 1982.
Kusumaatmadja,Mochtar, Fungsi
dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung :Binacipta,1970.
Kusumah,Deddy S Brata
Dadang S, Otonomi Peneyelenggara Pemerintah Daerah ,Jakarta : PT.Sun,
2003.
Lubis,
M.Solly, Kebijakan Publik, Mandar Maju, Bandung, 2007.
Marbun,SF.,dkk (ed), Dimensi-Dimensi
Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Jogyakarta : UII Press, 2001.
Muchsin dan Fadilah
Putra, Hukum dan Kebijakan Publik, Malang : Averoes Press,2002.
Putra,
Fadillah, Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2001.
Rahardjo, Satjipto, Hukum
dan Masyarakat, Bandung : Angkasa,1980.
Ridwan HR, Hukum
Administrasi Negara, Jogyakarta : UII Press, 2002.
Salam, Dharma Setyawan,Otonomi
Daerah dalam perspektif lingkungan, Nilai dan Sumber Daya ,Jakarta :
Djambatan,2004.
Soemitro,Ronny Hanitijo,
Permasalahan Hukum Dalam Masyarakat, Bandung : Alumni,1984.
Thomas
R., Dye, Understanding public policy, Prentice Hall, Inc. Englewood
Cliffs, 1978.
Wibowo,Eddi,
Hukum dan Kebijakan Publik, Yayasan Pembaruan Administrasi Publik
Indonesia, Yogyakarta, 2004.
Wojowasito,S.,et.al.,
Kamus Umum Inggris-Indonesia, Cypress, Jakarta, 1975.
Eddi Wibowo, Hukum dan
Kebijakan Publik, Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia,
Yogyakarta, 2004, hlm.30-31.
Deddy S Brata
Kusumah , Dadang S, 2003, Otonomi Peneyelenggara Pemerintah Daerah , Jakarta
: PT.Sun hal. 10-13
Surat Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) Kepri Center Nomor :104/KRC/VIII/2007,
tentang Mohon Penjelasan Status Hukum
Pulau Dompak, Tanjungpinang 20 September 2007, ditujukan kepala Badan
Planologi Departemen Kehutanan RI UP. Kepala Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan
Kawasan Hutan DR. Ir. Dwi Sudharto, M.Si di BOGOR.
Wojowasito, S., et. al., Kamus
Umum Inggris-Indonesia, Cypress, Jakarta, 1975. Hlm.60.
Lubis, M.Solly, Kebijakan
Publik, Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm.5.
Surat Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) Kepri Center Nomor:100/KRC/VIII/09, kepada Menteri
Kehutanan RI di Jakarta, tentang Pembangunan
Pulau Dompak melanggar Kepmenhut 173/Kpts/II/1986, di tembuskan pada
Presiden Republik Indonesia dan Komisi II DPR RI di Jakarta, Tanjungpinang 11
Agustus 2009.
Thomas R., Dye, Understanding
public policy, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, 1978, hlm. 3-4.
Fadillah Putra, Paradigma
Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.
Hlm.19.
Surat BP3KR
kepada Pimpinan DPRD Provinsi Kepulauan Riau
tentang Pemborosan Pembangunan
Dompak, Presiden RI di Jakarta, Menteri Dalam Negeri di Jakarta dan
Gubernur Kepri di Tanjungpinang, Tanjungpinang, 25 Juli 2007.
SF Marbun dkk
(ed), 2001, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara,
Jogyakarta : UII Press ,hal.7
Mochtar
Kusumaatmadja, 1970, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional, Bandung :Binacipta , hal.11
Dharma Setyawan
Salam ,2004 ,Otonomi Daerah dalam perspektif lingkungan, Nilai dan Sumber Daya ,Jakarta : Djambatan
, hal.107 -110