Senin, 28 Desember 2009

OKP Desak Musda KNPI Tanjungpinang

OKP Desak Musda KNPI Tanjungpinang

Oleh: Joni Sandra

PINANG, KEPRIterkini: Lambannya pelaksanaan Musyawarah Daerah (Musda) KNPI Tanjungpinang membuat beberapa OKP gerah dan mempertanyakan komitmen, konsisten dan loyalitas kepengurusan DPD KNPI Tanjungpinang. Pasalnya, terhitung April 2009 lalu masa kepengurusan KNPI Tanjungpinang periode 2006-2009 telah habis.
Ketua Umum PMII Tanjungpinang – Bintan, Heriyanto kepada kepriterkini.com, Senin (28/12) mengatakan, Musda KNPI Kota Tanjungpinang jangan ditunda-tunda lagi dengan alasan apapun. ‘’Kami minta MPI (Majelis Pemuda Indonesia) bersikap tegas dan segera ambil alih Musda KNPI walaupun panitia sudah terbentuk tapi mereka tidak serius untuk melaksanakan Musda, karena kita ketahui bahwa KNPI harus menjadi organisasi kepemudaan yang independen dan dapat merangkul OKP-OKP yang ada, bukan mengedepankan interest group,’’ ujarnya.

Ketua Generasi Muda Sriwijaya Abdul Halim,S.Pd pun angkat bicara dan prihatin akan lambannya Musda KNPI Tanjungpinang. ‘’Terlaksana atau tidaknya Musda KNPI Tanjungpinang itu tergantung kawan-kawan OKP yang peduli dan peka terhadap kondisi riil kepemudaan di Tanjungpinang,’’ kata Halim.

Di tempat terpisah Ketua Umum HMI Tanjungpinang - Bintan, Ahmad NurAfendi menegaskan, KNPI harus kembali pada fungsinya sebagai laboratorium kader, bukan sebagai jembatan kepentingan pihak mana pun. ‘’Artinya kader-kader terbaik dari berbagai OKP yang berhimpun di KNPI harus dapat mengayomi dan sharring kegiatan antara OKP-OKP yang ada bukan nantinya justru malah KNPI mengambil peran-peran OKP,’’ terang NurAfendi

Baik Heriyanto, Abdul Halim dan Ahmad Nur Afendi sepakat, siapapun kelak terpilih menggantikan kepemimpinan di tubuh KNPI Kota Tanjungpinang, harus bisa memberdayakan potensi pemuda dan belajarlah dari pengalaman.

Panitia Musda DPD KNPI Tanjungpinang sudah berusaha di konfirmasi namun tidak mendapat respon hingga berita ini di tulis.***

http://kepriterkini.com/index.php?option=com_content&view=article&id=196:okp-desak-musda-knpi-tanjungpinang&catid=40:tanjung-pinang&Itemid=55

Kenapa APBD Kepri Harus Pro Rakyat ?

Oleh Surya Makmur Nasution
Anggota DPRD Kepri dari Fraksi Partai Demokrat

 
 
Terminologi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) pro rakyat  yang saya munculkan saat pembahasan Rancangan APBD Provinsi Kepulauan Riau (Kepri)  menjadi wacana dan perdebatan di masyarakat. Permasalahannya adalah apa ukuran atau para meter untuk menyatakan sebuah APBD disebut pro rakyat atau tidak pro rakyat. Tentu saja memang belum ada kriteria bakunya.

Sehingga dalam wacana tersebut, ada yang setuju menggunakan terminologi APBD pro rakyat, dan ada pula yang tidak setuju atau tidak mau tahu. Yang tidak setuju, berargumentasi, istilah tersebut tidak ditemukan dalam penyusunan anggaran. Yang setuju berpendapat,  sumber keuangan APBD berasal dari rakyat oleh karena itu pemanfaatan pengalokasian dan pendistribusiannya haruslah untuk kepentingan rakyat, pro-rakyat. Yang tidak mau tahu, argumentasinya, EGP, emang gue pikirin.

 Kenapa saya memunculkan istilah APBD pro rakyat, argumentasi pemikirannya sederhana saja. Dalam pandangan saya, penyusunan RAPBD bukanlah sekadar tugas dan fungsi budgeting (pemerintah daerah dan DPRD), secara rutinitas menjelang berakhirnya masa satu tahun anggaran. Bukan pula untuk melepaskan tanggungjawab konstitusional sebagai penyelenggara pemerintahan daerah, antara eksekutif dan legislatif.

 APBD hakekatnya adalah sebuah proses pertanggungjawaban atas pengelolaan dana/belanja publik oleh badan atau pejabat publik yang bersumber dari uang rakyat dan diperuntukkan kepada kepentingan kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain, APBD adalah pengelolaan anggaran yang bersumber dari uang rakyat yang sebesar-besarnya pemanfaatannya diperuntukkan kepada kepentingan untuk mensejahterakan rakyat.

 Sebagai sebuah instrumen pengelolaan uang rakyat, APBD seyogiayanya menjamin berlangsungnya proses pengambilan keputusan yang dikaitkan dengan kebijakan pendapatan daerah dan belanja daerah. Perspektif kebijakan dan pengelolaannya adalah untuk mewujudkan tercapainya pelayanan publik secara transparan, efisien, efektif dan akuntabel guna mensejahterakan masyarakat.

  Oleh karena itu, pengelolaan dan pengalokasian serta pendistribusian APBD harus mencerminkan kepentingan rakyat (pro rakyat), bukan kepentingan penguasa/pejabat (incumbent), korporasi atau pasar.
 
                      ***

Insya Allah, jika tak ada perubahan, RAPBD Provinsi Kepri Tahun 2010, Rabu, 23 Desember 2009, akan disahkan dalam Sidang Paripurna DPRD Kepri di Tanjungpinang. Jumlah anggaran yang akan disahkan sebesar Rp. 1.830.000.000.000 (Rp530.362.779.945 (28,98 persen) belanja tidak langsung, dan Rp. 1.299.637.220.055 (71,02 persen) belanja langsung.
Membaca dan menelaah nota keuangan RAPBD KEPRI Tahun 2010 dengan waktu relativ singkat, tentu saja waktunya kurang memadai dan punya keterbatasan. Namun demikian, membiarkan proses pengesahan APBD tanpa memberi catatan atau masukan dan kritikan tentu tidaklah elok di mata rakyat.

 Anggota DPRD sebagai representasi wakil rakyat yang dipilih rakyat berdasarkan suara terbanyak hendaknya dapat menjadi motor penggerak tumbuh dan berkembangnya kehidupan demokrasi secara sehat dan indah di mata masyarakat ditandai adanya check and balances, keseimbangan dalam pengambilan kebijakan pada ruang publik oleh pejabat publik.

 Atas dasar itulah, pembahasan APBD berada di ranah publik karena bersumber dari uang publik. Dengan kata lain, partisipasi rakyat dalam pembahasannya sangat dibutuhkan agar apa yang menjadi aspirasi dan kepentingan masyarakat dapat terserap dan terpenuhi dalam pengalokasian dan pendistribusian APBD.

 Semua Anggota DPRD secara konstitusional punya tanggungjawab moral kepada rakyat untuk menjelaskan, mengawal, mengontrol/mengawasi jalannya pemerintahan daerah yang menggunakan uang APBD. Hak konstitusional untuk menjalankan tugas dan fungsi (legislasi, budgeting dan pengawasan) berlaku di dalam dan di luar gedung DPRD sehingga dijamin kebebasannya secara konstitusional.

Jika ada perbedaan pendapat, justru di sanalah letak keindahan demokrasi sebagai “rumah” tempat bertemunya keragaman pendapat atau pandangan, bukan malah dipertentangkan atau dianggap sebagai penghambat kepentingan. Akan tetapi, harus dicari titik-titik persamaannya untuk dijadikan sebagai titik temu atas perbedaan pandangan tersebut.

 Patut dicermati dengan saksama, serius dan mendalam, bahwa krisis ekonomi global yang melanda dunia tahun 2008 akibat krisis keuangan di Amerika Serikat berdampak negatif terhadap perekonomian nasional. Pertumbuhan ekonomi akan menurun akibat banyaknya perusahaan yang tutup dan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Situasi ini berdampak bertambahnya pengangguran, lapangan kerja sulit, jumlah warga miskin pun bertambah.

 Dampak krisis tersebut juga mempengaruhi perekonomian di provinsi Bumi Segantang lada ini. Sebagaimana disebutkan perekonomian Kepri sebesar 65 persen ditopang oleh sector industry, perdagangan dan jasa yang berorientasi ekspor. Bila negara tujuan ekspor mengalami goncangan ekonomi tentu akan mempengaruhi perekonomian di Kepri.

  Lihat saja efektifitas produk politik Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan dan karimun, yang begitu mengharapkan investasi asing berjalan stagnan alias jalan ditempat. Bahkan, perlakuan FTZ yang masih menyisakan persoalan, utamanya, arus kelancaran keluar dan masuknya barang yang harus menggunakan master list, bukan negative list, member kontribusi negative atas perekonomian di Kepri.

  Meski estimasi positif pertumbuhan ekonomi Kepri Tahun 2010 diperkirakan 5,5 sampai dengan 6 persen atau di atas rata-rata nasional, bukan berarti menutup kemungkinan terjadinya penurunan. Sebagaimana disebutkan, sumber pertumbuhan ekonomi Kepri, berasal dari kegiatan ekspor/impor sebesar 3,03 persen, konsumsi rumah tangga sebesar 1,94 persen dan investasi (pembentukan modal tetap bruto) adalah 0,27 persen dan pengeluaran pemerintah 0,16 persen.

  Dalam penyusunan APBD Tahun 2010 tak terlepas dari kondisi makro perekonomian nasional. Oleh karena itu, dalam penyusunannya haruslah disesuaikan dengan prakiraan asumsi ekonomi makro untuk APBN 2010. Sebagai contoh, misalnya, pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen, laju inflasi 5 persen, angka pengangguran terbuka diperkirakan 8,0 persen dari angktan kerja, jumlah penduduk miskin diperkirakan turun menjadi 12-13,5 persen, dan daerah juga harus mempertimbangkan perkiraan deficit APBN 1,3 persen dari PDB (lihat Lampiran Permendagri Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2010).

  Justru itu, Permendagri Nomor 25 Tahun 2009 memberi pedoman agar dalam melaksanakan pengelolaan keuangan APBD sebagai instrument pembangunan, aparatur negara harus memperhatikan prinsip utama (pengarusutamaan) sebagai landasan operasional kerjanya. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah partisipasi masyarakat, pola pembangunan berkelanjutan, pola pembangunan berkelanjutan, tata pengelolaan yang baik, pengurangan kesenjangan antara wilayah, percepatan pembangunan daerah tertinggal, desentralisasi dan Otonomi Daerah serta padat karya.

   Dalam KUA Pemprov Kepri Tahun Anggaran 2010, Gubernur telah menetapkan 6 (enam) prioritas pembangunan tahun 2010, yaitu, peningkatan penyediaan pendidikan berkualitas dan pelayanan kesehatan masyarakat. Kemudian, peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah melalui peningkatan investasi di sektor industri, pariwisata, pertanian/perikanan dan optimalisasi potensi unggulan daerah, peningkatan ketersediaan infrastruktur darat/udara/laut serta telekomunikasi, peningkatan lapangan kerja baru dan berkurangnya jumlah keluarga miskin, percepatan perwujudan tata pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (good governance and clean goverment).

  Enam prioritas pembangunan yang diajukan Pemprov Kepri sudah ideal. Hanya saja, 6 prioritas pembangunan tahun 2010 yang diproyeksikan di dalam RAPBD, menurut pandangan saya, masih menyisakan banyak pertanyaan yang perlu mendapat perhatian serius dan pendalaman agar program-programnya berpihak kepada kepentingan rakyat Kepri.

 Benar, jumlah anggaran yang akan disahkan sebesar Rp. 1.830.000.000.000 pengalokasian dananya sebesar Rp. 530.362.779.945  atau 28,98 persen untuk kepentingan belanja tidak langsung (misalnya, belanja pegawai, bunga, sibsidi, hibah, bantuan, bantuan langsung, bantuan keuangan dan tidak terduga), dan Rp. 1.299.637.220.055  atau 71,02 persen belanja langsung atau belanja publik (belanja pegawai, barang jasa, dan belanja modal).

Dari angka tersebut mencerminkan, antara belanja publik lebih besar dibandingkan dengan belanja tidak langsung. Komposisi alokasi ini dapat dikatakan, sangat sehat, sebagaimana disebut oleh Wakil Gubernur Kepri M Sani dalam memberikan jawaban pemerintah provinsi atas pertanyaan dan tanggapan Anggota DPRD Kepri, 4 Desember 2009.

Bahkan, Ketua Badan Anggaran DPRD Kepri Hotman Hutapea mengatakan, APBD Kepri tahun 2010 mencerminkan lebih besar untuk kepentingan rakyat. Itu dibuktikan dengan sebesar 20,21 persen untuk pendidikan, kesehatan 7,16 persen, lingkungan hidup dan perlindungan sosial 9,85 persen, dan untuk perumahan dan fasilitas 30,33 persen dan pelayanan umum 34,52 persen (Sijori Mandiri, 15 Desember 2009).

 Secara persentase dan angka-angka RAPBD yang diajukan Pemerintah Provinsi Kepri tak dapat disangkal, alokasi belanja langsung lebih besar dibandingkan belanja tak langsung. Hanya saja, yang menjadi catatan saya,  dari belanja langsung tersebut, peruntukannya kemana dan untuk apa saja?

 Pendapat saya, untuk alokasi pendidikan misalnya, disebutkan telah mencapai 20, 21 persen dengan angka Rp. 195.263.000.000. Padahal, total RAPBD yang diajukan Rp 1.830.000.000.0000 yang berarti seharusnya alokasi untuk pendidikan nilainya mencapai Rp 360 miliar lebih. Sebab, berdasarkan pasal 49 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mengamanatkan pengalokasian anggaran (APBN/APBD) sebesar 20 persen untuk pendidikan.

 Patut diingat, dari angka belanja langsung sebesar Rp. 1.299.637.220.055  atau 71,02, juga terdapat anggaran untuk belanja pegawai sebesar Rp. 210.669.549.430.

  Kemudian, dari jumlah kegiatan penanggulangan kemiskinan dan ekonomi kerakyatan, dari 86 kegiatan pagu anggarannya hanya Rp 216.028.084.100 atau lebih kecil dari anggaran belanja pegawai sebesar Rp 391.350.324.375 (belanja pegawai dari belanja tidak langsung Rp 180.680.779.945 dan belanja pegawai dari belanja langsung Rp. 210.669.549.430).

 Di sisi lalin, belanja fisik, seperti pembangunan infrastruktur  ibukota provinsi di Dompak Rp 482 miliar, pembangunan rumah sakit umum daerah Rp 60 miliar dan lainnya. Ini hanya untuk  menyebut beberapa contoh belanja fisik yang menurut hemat saya masih dapat diperdebatkan kemanfaatannya apakah berdampak langsung kepada kepentingan rakyat.


  Bagi saya, yang lebih penting dari semua ini adalah bagaimana posisi tawar rakyat sebagai pemilik kedaulatan atas APBD dapat menikmatinya dan mengawasi serta mengakses pemanfaatannya. ***

http://batampos.co.id/Opini/Opini/Kenapa_APBD_Kepri_Harus_Pro_Rakyat_?.html