Rabu, 25 April 2012

ILMIAH : Orasi Ilmiah Suhardi Mukhlis


Naskah Orasi Ilmiah Sempena Wisuda Sarjana VII STISIPOL RAJA HAJI

oleh : Suhardi Mukhlis
26112007
ALU-ALUAN
 Yang dimuliakan Ketua Senat STISIPOL Raja Haji, Ketua Dewan Pengurus YRHF, Koordinator Kopertis Wilayah X (Sumbar, Riau, Jambi, dan Kepri), dan Gubernur Kepulauan Riau yang didahulukan selangkah, ditinggikan seranting, dilebihkan serambut, dan dimuliakan sekuku.  Encik-encik, puan-puan, tuan-tuan para jemputan yang besar tidak diimbau gelar, yang kecil tidak disebut nama, yang raja dengan daulatnya, yang datuk dengan tuahnya, yang alim berkitabullah, yang penghulu dengan hulunya, yang cerdik penyambung lidah, yang berani pelapis dada, yang tua pembawa petuah, yang muda penerima amanah khasnya wisudawan/i.
 TAJUK:
KRISIS FILOSOFI KEHIDUPAN
 A. Sekapur Sirih
Dewasa ini, kehidupan manusia boleh dikatakan sedang mengalami krisis (kegawatan) spritual dan moral, sementara kecerdasan (kepintaran) intelektual mengalami kemajuan yang pesat dan melesat.  Anggapan ini berteraskan kepada fakta bahawa dimana-mana, di segala tarap dan bidang kehidupan sedang mengalami krisis kehidupan (krisis filosofi hidup).
Mereka yang merasa terdidik justru menjadi koruptor, dan mereka yang kurang atau tak terdidik menjadi perompak.  Ada pula kumpulan yang kebingungan, lalu menjadi penghisap dadah dan sabu-sabu.  Faktor pertama dan utama penyebab kepelbagaian kegawatan kehidupan ini ialah pendidikan.  Bukan pendidikan keluarga, bukan juga pendidikan sekolah, dan bukan pula pendidikan masyarakat, tetapi pendidikan dalam makna satu jalinan sistem daripada ketiga sentra pendidikan itu sendiri.
Bagaimana baikpun pendidikan di dalam persekitaran keluarga, tetapi apabila tidak direspons secara tepat di dalam penyelenggaraan pendidikan sekolah, maka akhirnya hanyalah melahirkan sumber manusia yang tak berdaya dan tidak kreatif. Walaupun pendidikan sekolah boleh menghasilkan sumber manusia berkualiti (kreatif, kompeten, dan mahir), tetapi masyarakat termasuk dunia kerja tidak merespon secara adil, boleh dipastikan kemajuan kehidupan masyarakat tetap dalam lamunan belaka.
Untuk mendapatkan gambaran seberapa parahnya krisis itu terjadi dan seberapa jauh pendidikan itu berpengaruh, berikut ini didedahkan beberapa aspek pokok kehidupan masyarakat manusia.
  • B. Ekonomi Kanibal
 Abad 21 ditandai dengan semakin kukuh dan tegaknya falsafah hidup positivisme materialistik dan gaya hidup ekonomi kapitalistik.  Tabiat manusia berkecenderungan memperoleh kekayaan material sebanyak mungkin menerusi jalan apapun.
Moraliti persaingan mendorong sistem ekonomi kapitalistik yang cenderung memonopoli barang-barang (barangan) produksi mulai daripada produksi sehinggalah kepada mekanisme pasar (konglomerasi).  Akibatnya kehidupan sosial terbahagikan menjadi dua lapisan, iaitu produsen dan konsumen.  Produsen merasakan suatu kebahagiaan berupa kenikmatan ketika menguasai pasar untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.  Manakala konsumen pula merasakan kebahagiaan berupa kenikmatan mengkonsumsi dan memakai barang-barang (barangan) produksi.  Dengan watak ini konsumen menjadi semakin terjerat dengan ketergantungannya kepada produsen.
Antara produsen dan konsumen diam-diam membina permufakatan (baca: kompromi) berupa nilai kenikmatan hidup daripada barang-barang (barangan) produksi.  Keadaan ini membuat posisi sentral kaum kapitalis sebagai produsen semakin kukuh untuk memperoleh kebebasan menguasai ekonomi pasar (perniagaan). Semakin barang-barang (barangan) produksi itu memberikan kenikmatan hidup, semakin kuat pula ketergantungan konsumen kepada produsen.  Hubungan demikianpun terkesan logik dan tak ada salah dan dosanya.  Pada titik nilai kenikmatan itu, kedua belah pihak seakan-akan saling mendapatkan keuntungan, sehingga mereka terikat dengan romantika kehidupan.
Tetapi ketahuilah di sebalik romantisme ekonomi kapitalis, sesungguhnya terjadi kanibalisme kehidupan yang pada masanya siap membaham realiti kehidupan.  Pasalnya produsen semakin terdorong untuk melipatgandakan kuantiti kenikmatan.  Dorongan ini seterusnya membentuk sikap cenderung bersifat merosak dan menghancurkan.  Begitu juga daripada pihak konsumen, ketergantungannya kepada produsen mendorong terbentuknya sikap dan tabiat malas (laze) dan tidak kreatif.  Akibatnya terjadilah apa yang disinyalir oleh Roma Irama, yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin bertambah.  Data menunjukkan Indonesia merupakan negara ketiga pertumbuhan orang kaya tertinggi (16,0%) sekawasan Asia-Fasifik setelah India (20,5%) dan tempat pertama Singapura (21,2%) atau hampir dua kali ganda pertumbuhan secara global (8,3%) dan pertumbuhan kawasan (8,6%).  Bertolak belakang daripada itu yang miskin menurut statistik resmi (July 2007) di negeri ini terdapat 37,17 juta orang.  Ada yang tidak percaya karena berpandangan jumlah bilangan orang miskin di negeri ini jauh lebih banyak lagi.
Rupa-rupanya, tanpa disedari, kita kembali pada tarap pertama daripada peringkat hidup mengikut Abraham Maslow, iaitu faali (psikological need).  Kita hanya setakat mementingkan  sandang, pangan, dan papan.  Kemajuan yang ada hanyalah setakat terletak pada peningkatan secara kuantitatif daripada keperluan yang bersifat asas itu.  Seterusnya deviasi realisasi peringkat keperluan yang lebih tinggi (keamanan dan aktualisasi diri).  Kita seolah-olah saja sudah meraih peringkat itu, walaupun sebenarnya hanya setakat pada peringkat fisikal (faali).  Kita seolah-olah sudah mencapai aktualisasi diri ketika menjadi kaya dan punya pangkat serta jawatan tinggi.  Walhal itu terjadi bukan pada tataran substansial, melainkan hanya sekedar kemasan daripada realisasi keperluan peringkat pertama mengikut Maslow.
Moraliti negatif inipun bertentangan dengan hukum kodrat kehidupan manusia, yang pada masanya (dalam situasi dan kondisi tertentu) pasti merosak dan meluluhlantakkan (baca: menghancurkan) tatanan kehidupan.  Dengan moraliti kanibalistik, di masa hadapan, dalam situasi dan kondisi tertentu, boleh jadi produsen memangsa habis konsumen dan di antara produsen saling memangsa, akibatnya kiamatlah sejarah peradaban manusia, seperti mana disinyalir dalam Al-Quran berikut ini:
“Telah kelihatan kerusakan di darat dan di laut, disebabkan usaha tangan manusia, karena Tuhan hendak merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, supaya mereka kembali[1] (Q.S. Ar-Rum 41)”.
“Dan setiap nasib buruk yang menimpa kamu, adalah disebabkan perbuatan tangan kamu sendiri [2]; dan Tuhan memaafkan sebagian besarnya.  Dan kamu tidak sanggup menghindarkan diri (dari hukuman Tuhan) di muka bumi; dan kamu tiada memperoleh perlindungan dan penolong selain dari Allah (Q.S. Asy-Syura 30-31)”.
Sekarang bangsa ini memerlukan revolusi mentaliti. Revolusi yang membersihkan hati dan pikiran dari kerakusan dan pembodohan. Revolusi yang menyatukan perkataan dan perbuatan. Jangan hanya setakat menjadi bangsa “bicara” dan “upacara” kata Dr. AS Dillon.  Revolusi yang membuat orang Indonesia kembali memiliki rasa malu (sense of shame). iaitu, malu sebagai bangsa yang paling korup sejagat.  Untuk menumbuhkan kembali rasa malu yang hilang itu jelas diperlukan keteladanan. Tetapi keteladanan saja tidak cukup. Sebab, adalah fakta bahwa orang yang bersih pun lambat atau cepat ikut menjadi kotor. Semua yang bersuara hendak memperbaiki dari dalam, kecenderungannya berakhir dengan larut di dalam sistem yang korup.
•C.    Kemunafikan Politik
Sementara itu abad 21 juga ditandai dengan kesenangan teramat sangat (euforia)terhadap tabiat politik “demokratis”.  Tendensi politik saat ini telah meninggalkan nilai substansial politik itu sendiri, iaitu (shrewdness) dalam mengambil kebijakan, dan telah bergeser menjadi kelicikan (slyness).
Kemunafikan (hypocrisy) dunia perpolitikan Indonesia sudah tumbuh dan berkembang semasa orde baru. Memasuki era reformasi, abad ke 21 mengakibatkan kebangkrutan perekonomian nasional dan diperburuk oleh kebangkrutan moral sementara golongan reformis itu sendiri.  Reformasi bahkan hanya menghasilkan pahlawan-pahlawan palsu dan kesiangan yang menjadi reformis dengan cara mencuri di tikungan dan berbesar hati (baca: bangga) dengan semua kepalsuan itu. Tidak usah heran jika menyebut reformasi pun kita sekarang sudah malu.
Kebejatan moral sementara reformis itu secara sengaja atau tidak menumbuhkan sikap saling tidak percaya secara nasional, sehingga berakibat munculnya budaya gerakan demonstrasi yang kadang-kadang tidak masuk akal.  Jika perkara ini tidak segera disiasati dan disikapi secara tepat dan cepat mengikut komitmen nasional yang termuat dalam UUD 1945, maka secara de facto, bangsa Indonesia sesungguhnya belumlah mampu memerdekatan dirinya, maknanya masih terjajah.
Apalah artinya negeri ini dinobatkan sebagai negara domokrasi terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan India apabila masyarakatnya tetap sekarat dan merempat.  Apakah masih punya makna penghargaan mendali demokrasi yang diberikan oleh The International Association of Political Consultant dan menjadi pemimpin negara ke 25 dari seluruh negeri di dunia yang pernah menerima penghargaan yang sama apabila rakyatnya masih menderita papa.
•D.    Ketidakadilan Hukum

Dewasa ini, negara-negara yang sedang berkembang (baca: membangun) dijadikan tumpuan (objek) kekuasaan otoriter kaum kapitalis, seperti halnya kondisi dunia ekonomi dan politik, begitu juga dengan dunia hukum mengalami kegawatan parah.  Krisis di bidang hukum kebanyakan terjadi pada tarap praktek pelaksanaan yang tidak membuahkan nilai keadilan.

Moral konsumeristik sebagai akibat dari kekuasaan ekonomi kapitalistik, kemudian mendorong terbentuknya moral keserakahan dan kemalasan.  Kedua moraliti ini mempunyai kesamaan tendensi, iaitu kenikmatan hidup temporeri (hedonistik).  Bahkan kenikmatan hidup itu telah berkembang menjadi filosofi hidup manusia di era pascaperindustrian.

Kebanyakan oknum penyelenggara kehidupan negara, sama ada eksekutif, legislatif mahupun yudikatif, dan bahkan masyarakat pada umumnya telah terbius akan filosofi hedonistik ini.  Filosofi hidup seperti ini berkonseksuensi empiris, seperti legitimasi kesalahan, pembenaran perilaku korup, dan rasuah, menghalalkan segala cara, dan semacamnya.

Oleh itu, upaya penegakan hukum dan keadilan di dunia ini, khususnya di negara-negara membangun seperti Indonesia, mengalami kendala sangat berat.  Karena nampak jelas oknum pejabat dan penegak hukum justru terbabit ke dalam tindak kejahatan di segala bidang.

Di Indonesia, penegakan hukum dijalankan secara tidak adil.  Pencuri seekor ayam dijatuhi vonis 3 (tiga) bulan penjara, tetapi perompak kekayaan negara secara sistematis dengan jumlah miliaran bahkan triliunan rupiah divonis 3 (tiga) tahun penjara dengan fasiliti hotel.  Pembalakan liar yang dituntut 10 tahun penjara, mengganti dana provisi sumber daya hutan sebesar Rp 119 miliar dan US$ 2,9 juta (baca: kasus Adelin Lis) dibiar berlenggang kangkung.  Mengikut Suhartono (2006) hukum di Indonesia kelihatannya cenderung membiarkan kejahatan dan mewaspadai kebaikan dan kejujuran.  Mereka yang bermoral jujur justru tersungkur dan terkubur, dan mereka yang jahat justru selamat dan bahkan diangkat menjadi pejabat terhormat.  Inilah yang disebut dengan sistem kehidupan bernegara premanisme.

•E.    Keterpurukan Pendidikan dan Kebudayaan

Ketika moral keserakahan ekonomi, moral kekuasaan otoriter politik, dan moral ketidakadilan hukum justru merajalela ketika pendidikan berada pada titik puncak kejayaan.  Dan bertambah hairan lagi ketika zaman berubah semakin maju, justru kemampuan manusia menggunakan intelegensianya semakin mundur.  Ilmu pengetahuan justru membuat manusia terjebak dan terperangkap ke dalam dunia kognitif (dunia logika) yang hanya mempunyai parameter rasionaliti dan materi.  Inilah kesalahan peradaban dan ilmu pengetahuan yang tidak pernah diakui.

Fakta membuktikan bahawa teknologi dan industri sebagai produk pendidikan berjaya mendorong dinamika kehidupan melaju pesat dan melesat.  Dahulu orang menjadi kaya setelah puluhan tahun sabar menunggu ternaknya beranak pinak, tanamannya berbuah secara alami.  Kini dengan teknologi reproduksi, dalam masa sekejap jumlah hasil berlipat ganda.  Apatah lagi  jika peralatan teknologi dipergunakan secara amoral, dalam masa sekejab dan dengan satu unit komputer, seorang boleh membongkar bank dan meraup triliunan rupiah.

Faktor dominan munculnya kontradiksi ini diperkirakan karena pendidikan tidak lagi digunapakai (baca: difungsikan) untuk mengawal teknologi sampai pada tarap pemberdayaannya.  Pendidikan tidak ditumbuhkembangkan dalam perilaku keseharian.  Manusia sengaja melepaskan pendidikan atau pendidikan dilepaskan oleh manusia dari sistem perberdayaan teknologi.  Ketika terlepas dari bingkai pendidikan, teknologi dan industri otomatis memberikan keleluasaan terhadap perkembangan moral keserakahan.  Secara alami moral tersebut berpengaruh langsung terhadap perluasan ekonomi kapitalistik, kekuasaan politik otoriter, dan ketidakadilan hukum.  Persoalannya ialah semua jenis moraliti tersebut cenderung merosak, manakala pendidikan cenderung menumbuhkan, dan teknologi sendiri dapat dimanfaatkan oleh manusia secara fleksibel.

Ketika pendidikan tidak lagi terbabit secara fungsional dalam perkara pemberdayaan teknologi, justru pendidikan dibiarkan terseset dijalan yang benar mengikuti kecenderungan pemanfaatan teknologi secara praktis dan pragmatis.  Pemanfaatan teknologi seperti itu ialah wujud dominasi kepentingan tabiat hidup kapitalisme hedonistik.  Sekali lagi, perkara itu berarti pendidikan membiarkan moral keserakahan kapitalisme merasuk dan merosak dunia pendidikan.

Ketika dunia pendidikan kerasukan dan kemaruk moraliti kapitalistik hedonistik, orientasi pendidikan pun berhinsut ke arah titik kenikmatan ekonomi material.  Pergeseran orientasi pendidikan seperti ini mendorong penyelenggaraan pendidikan  cenderung menjadi komersial.  Akibatnya, keluarga mengharapkan putra putrinya menjadi dokter, insinyur, pemegang jawatan (pejabat), konglomerat, dan sebagainya, karena profesi seperti itu adalah yang paling dekat dengan perolehan wang atau materi sebanyak-banyaknya.  Harapan putra putrinya menjadi orang yang bermoral, jujur, beriman, sholeh, dan sebagainya diposisikan jauh daripada uang.  Akibatnya terjadi pergeseran orientasi pendidikan, keluargapun menyerahkan pendidikan putra putrinya kepada lembaga pendidikan sekolah.  Karena hanya lembaga pendidikan sajalah yang boleh mencetak dokter, insinyur, S.Sos. dan bahkan menjualbelikan gelaran.

“1) Bila ilmu tersalah pakai, aib tersingkap malu terburai; 2) bila ilmu tersalah pakai, ke tengah ke tepi hidup meragai; 3) bila ilmu mengingkari amanah, banyaklah kerja tidak semenggah; 4) bila ilmu menyalahi adat, hati busuk akal berkarat; 5) bila ilmu mengingkari amanah, alamat badan dimakan sumpah; 6) bila ilmu menurut nafsu, saudara mara menjadi seteru; 7) bila ilmu menurut nafsu, hidup mati menjadi batu; 8) bila ilmu menurut nafsu, dunia akhirat mendapat malu; 9) bila ilmu tersalah pakai, hidup mati menjadi bangkai; 10) bila ilmu menyalahi adat, kerja yang baik menjadi sesat; 11) bila ilmu menyalahi agama, balak dan bala timpa menimpa (Effendi, 2000)”.

Seterusnya dalam rangka memenuhi kepercayaan masyarakat, pendidikan sekolah sibuk dengan kebijakan-kebijakan kongkrit yang menarik simpati.  Sistem ranking, kelas unggulan, sistem evaluasi EBTA/EBTANAS, UAN dan seumpamanya, semuanya dihala tujukan kepada kepentingan komersial.  Dewasa ini komersialisasi pendidikan ciri khas lembaga pendidikan sekolah sama ada negeri mahupun swasta.  Pada tarap pengajian tinggi pula, misalnya sudah berubah bentuk menjadi perseroan terbatas (baca: sdn bhd).  Dengan tendensi penerimaan yuran penyelenggaraan pendidikan dalam jumlah sebesar-besarnya, penerimaan mahasiswa dalam jumlah besar menjadi tumpuan utama, bahkan dijadikan kebanggaan dengan dalih kualiti.  Ada kesan bahawa ketika universiti dibanjiri mahasiswa seolah-olah menandakan berkualiti.  Walhal bisa jadi semakin kebanjiran mahasiswa semakin merosot mutunya.  Asia Week pun ikut-ikutan memperparah dengan membuat peringkat pengajian tinggi menerusi tolok ukur yang berbau kapitalistik, seperti aspek keuangan (pendapatan dan pengeluaran), gaji pensyarah, dana penyelidikan, ketersediaan perumahan bagi pensyarah, akses internet, dan seumpamanya.

Matlamat dan sasaran pendidikan dan pengajaran hanya setakat kognitif penguasaan materi yang tersedia dalam bentuk diktat, tanpa disokong oleh fasiliti sumber dan sarana pembelajaran lainnya yang memadai. Kurikulum diorganisasikan bukan mengikut asas fungsional bagi pembudayaan masyarakat, melainkan hanya kumpulan mata pelajaran tanpa kejelasan hubungan antara satu dengan lainnya.  Kegiatan penyelidikan dijalankan tidak mengikut asas prioriti signifikansi berteraskan kepada matlamat kurikulum, melainkan mengikut pesanan daripada pihak sponsor.  Hasil penyelidikan tidak dijadikan menu perkuliahan, cukup disimpan di dalam almari.  Akibatnya jenis dan bentuk teori ilmiah baru yang tepat diamalkan kepada masyarakat, demi tugas dan kewajipan sosialnya, tidak tersampaikan.

Tri Dharma Pendidikan Tinggi tidak difungsikan secara berkesan dan efisien bagi pembaharuan kehidupan masyarakat.  Lembaga pendidikan tinggi eksis tanpa dorongan ke arah penemuan teori-teori baru, tetapi hanya setakat rutiniti dan ritual kegiatan perkuliahan.  Gelaran akademik dan jawatan fungsional di kalangan masyarakat kampus tinggal wadah tanpa isi jenis keahlian tertentu yang jelas di dalamnya.  Akibatnya, pendidikan tinggi kehilangan ciri khasnya sebagai masyarakat ilmiah, sehingga tidak lagi mampu memproduksi sumber manusia yang cergas dan kreatif.

Keterpurukan kehidupan sosial di segala bidang menandakan adanya pembengkakan pengangguran intelektual secara terselubung.  Artinya terjadi kesalahan penempatan dan pemberdayaan alumnus pendidikan tinggi, selain memang rendahnya kualiti.  Perkara ini jelas merupakan nilai negatif yang tidak menguntungkan bagi masa hadapan kehidupan masyarakat.  Secara pesimistik, ada sesuatu yang cukup mencemaskan disebalik pengangguran intelektual terselubung itu.  Adanya pengangguran intelektual berarti mendorong keluasan sikap dan perilaku bergantung, dan juga menumbuhkan moral konsumtif-konsumeristik.

Sikap moral seperti ini kontradiktif terhadap substansi kebudayaan.  Jika perkara ini terjadi, penyelenggaraan pendidikan kontradiktif dengan visi dan misinya.  Visi pendidikan ialah pembaharuan kehidupan, manakala misinya pula ialahpembudayaan kehidupan.  Tugas pembudayaan berarti pendidikan berupaya mendorong tumbuhnya moral kreatif, dan dengan moral kreatif inilah pembaharuan pendidikan boleh direalisasikan.

Potensi kreatif hanya boleh ditumbuhkembangkan menerusi koridor monodualistik iaitu pencerdasan spritual dan pencerdasan moral.  Sasaran pencerdasan spritual ialah membuka wawasan kehidupan sehingga boleh membentuk falsafah hidup.  Manakala sasaran pencerdasan moral pula menumbuhkan semangat hidup sehingga orang tidak mudah putus asa dalam menghadapi kesukaran hidup, tidak stress ketika kehilangan jawatan.  Kedua koridor tersebut ialah jalan utama pendidikan menuju pembudayaan kehidupan manusia.

  • F. Pembahasan

Semestinya posisi dan peran produsen dan konsumen tidak berbelah bagi secara dikotomis.  Secara filosofis kedua belah pihak semestinya berada dalam bentuk eksistensi harmonis, terkait rapat dalam hubungan saling memberi arti dan peranan, sehingga kemudian akan saling memberi keuntungan yang adil dan berimbang.  Mereka mestilah berada dalam suatu filosofis kehidupan yang dinamis ke arah kemajuan hidup yang berkeadilan.  Semestinya pihak produsen mengakui bahawa pihak konsumen ialah bahagian yang integral daripada dirinya.  Begitu pula pihak konsumen semestinya mau dan boleh mengembangkan potensi kreatif sehingga memiliki daya kemandirian.  Maknanya ekonomi tidak cukup hanya setakat dipelajari secara ilmiah teoritis sahaja, melainkan perlu dididikkan dan dibudayakan di dalam tabiat moral keseharian dalam kehidupan masyarakat (learning to do and to be).

Sementara kebengkrapan dunia perpolitikan perlu segera diatasi menerusi cara memposisikan dan memfungsikan politik sebagai domain kepada ekonomi.  Untuk itu dunia perpolitikan mustahak dikembalikan ke asas falsafah dengan nilai moralitinya.  Nilai substansial politik ialah kebijaksanaan etis bagi kehidupan bernegara, bukan kekuasaan licik bagi para penyelenggaranya.  Sistem politik bukanlah dijiwai oleh moral samsing (baca: premanisme), melainkan dijiwai oleh kebijaksanaan demokratis nasional.  Dunia perpolitikan Indonesia secara konstitusional jelas dijiwai oleh moraliti keadilan sosial bagi seluruh rakyat, bukan oleh keadilan sosial bagi seluruh kaki tangan penyelenggara negara.  Oleh itu, politik tidak cukup dipelajari secara ilmiah, tetapi mesti dipelajari secara seksama nilai-nilai fisosofisnya untuk kemudian dididikkan dan dibudayakan oleh dan kepada sesiapapun, dimana dan bila-bila masa sahaja di seluruh muka bumi pertiwi ini.

Hanya menerusi pendidikan, moraliti dibangun, keperibadian nasional dibentuk, dan etika kehidupan nasional menjadi ladang subur bagi nilai-nilai keadilan.  Dalam kondisi seperti ini, tabiat patuh terhadap rambu-rambu hukum formal tidak perlu disangsikan lagi.  Dus hukum tidak cukup hanya dipelajari secara ilmiah, tetapi mesti dipelajari secara seksama nilai-nilai filosofisnya untuk kemudian dididikkan dan dibudayakan di dalam kehidupan keseharian masyarakat.  Nilai kebenaran dan keadilan hukum bukan sesuatu yang mesti hidup di alam pikiran sahaja (learning to know), melainkan mesti hidup subur di alam tabiat (to do and to be).

Bahawa kegawatan pendidikan dan kebudayaan ialah pangkal daripada kegawatan kehidupan di segala bidang.  Krisis yang melanda Indonesia dewasa ini boleh dibilang sebagai akibat daripada adanya krisis filosofi kehidupan.  Untuk itu mesti ditegakkan kembali filosofi kehidupan menerusi jalan kependidikan sesuai isi makna hakikat pendidikan.  Daripada aspek paedagogis, manusia dipandang sebagai makhluk “homo educandum” (makhluk yang mesti dididik).  Mengikut aspek ini manusia dikategorikan sebagai animal educabile (binatang yang dapat dididik), dan oleh itu pendidikan mestilah berfungsi untuk “memanusiakan manusia”.  Pendidikan adalah mutlak bagi manusia untuk menentukan jati diri, model eksistensi, dan kualiti tujuan kehidupannya, dan sebaliknya keberadaan pendidikan juga sepenuhnya ditentukan oleh manusia.  Tanpa manusia, pendidikan tidak akan pernah ada (human life is just the matter of education).

Kebijakan penyelenggaraan pendidikan tidak sanggup menangkal kecenderungan global ekonomi kapitalistik yang bersifat material hedonistik, bahkan telah tercemari olehnya.  Ketidakmampuannya itu disebabkan karena kehidupan sosial politik dan hukum tidak memberikan kontribusi, namun justru larut dalam moraliti hedonisme materialistik tersebut.  Tanpa sokongan moraliti demokrasi dan keadilan, tidak mungkin pendidikan sanggup menjalankan visi dan misinya.  Oleh itu pendidikan tidak cukup hanya setakat dipelajari secara ilmiah teoritis dengan sasaran kepintaran intelektual sahaja.  Nilai-nilai hakiki pendidikan semestinya dipelajari secara seksama dengan sasaran kepintaran spritual, untuk kemudian diamalkan di dalam keseharian kehidupan bermasyarakat dengan sasaran konkrit berupa kepintaran emosional.


G. Akhirul Kalam

Apabila kapitalisme hedonistik telah menjadi mentaliti nasional (baca: bangsa), kekuasan politik kenegaraanpun cenderung otoriter, dan asas keadilan hukum (perimbangan antara hak dan kewajipan) bergeser menjadi hukum rimba (homo homini lupus).  Apabila hukum rimba tejadi dalam kehidupan bangsa dan negara merdeka akan terjadi kesukaran, karena kekuasaan berada di tangan bangsa sendiri.  Musuh ada di dalam rumah sendiri, satu meja makan dan satu bilik, bahkan tempat tidur.  Membantras nafsu keserakahan diri sendiri dan dari bangsa sendiri jauh lebih sukar dibandingkan membantras keserakahan bangsa penjajah.


Tidak mengurangi rasa hormat kepada seluruh pahlawan, sekarang mesti kita katakan bahawa melawan diri sendiri ternyata jauh lebih sukar dibandingkan melawan musuh di luar diri. Sebab, sejauh ini ada tanda-tanda kuat, bahkan sangat kuat, bangsa ini kalah melawan dirinya sendiri!.  Namun sekarang justru kesatuan hati dan pikiran itu yang lenyap. Sekarang tiada lagi konsistensi antara perkataan dan perbuatan. Yang bersemi dan tumbuh subur adalah kemunafikan dan kerakusan. Yang diteladani adalah koruptor.  Bahkan, koruptor merupakan pahlawan bagi anak dan cucu sampai keturunan yang ketujuh. Itulah sebabnya, korupsi bukan berkurang, apalagi habis, tetapi malah semakin berkembang biak.  

Dulu kita memerlukan revolusi fisik untuk menghalau kolonialisme. Penjajah dilumpuhkan dengan perang gerilya, yang sepenuhnya memperoleh sokongan daripada rakyat.  Bangsa ini merindukan wira masa kini untuk masa hadapan. Pahlawan yang memimpin revolusi mental untuk mengalahkan diri sendiri yang bodoh, rakus, hipokrit, dan korup.  Kalau dulu kita perlu pahlawan untuk melawan penjajah, sekarang kita perlu pahlawan untuk melawan diri sendiri.  Wallahu’alam bissawab…

H. Bibliografi

Agustian, Ary Ginanjar.2005.Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritual, ESQ, emotional spritual quotient, the ESQ way 165, 1 ihsan 6 rukun iman, dan 5 rukun Islam.Jakarta:Arga.

Bahaudin, Taufik.2003.Brainware Management, generasi kelima manajemen manusia, memenangkan knowledge to knowledge competition, menyongsong era millenium.Jakarta:PT Elex Media Komputindo.

Effendi, Tenas.2004.Tunjuk Ajar Melayu (butir-butir budaya Melayu Riau).Yogyakarta:Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerjasama dengan AdiCita.

——————–.2005.Ungkapan Tradisional Melayu Riau.Kuala Lumpur:Dewan Bahasa dan Pustaka.
Fudyartanto, Ki RBS.2002.Psikologi Pendidikan, dengan pendekatan baru.Yogyakarta:Global Pustaka Utama.

Hamidy, Zainuddin dan Fachruddin Hs (penyusun).1986.Tafsir Quran.Jakarta:Widjaya.

Hor, Khoo Kheng.2003.Sun Tzu Dalam Manajemen Sumber Daya Manusia (Applying Sun Tzu’s Art of War In Human Rosource Management). Alih Bahasa Rudijanto.Jakarta:PT Bhuana Ilmu Populer.

Idris, Haji Ahmad (worawit baru).2004.Pemikiran Melayu, tradisi dan kesinambungan.Kuala Lumpur:Dewan Bahasa dan Pustaka.

Ismawan, Indra.2005.Spirit of Change, kata-kata yang mengispirasi perubahan.Jakarta:Cakrawala.

Mohamad, Mohamad Daud dan Zabidah Yahya (penyelenggara). 2005.Pascakolonialisme dalam Pemikiran Melayu.Kuala Lumpur:Dewan Bahasa dan Pustaka.

Mukhlis, Suhardi.2006.Perilaku Terjajah Di negeri Bertuah.Kertas kerja, Tanjungpinang,tidak diterbitkan.

Pannen, Paulina.2001.Pendidikan Sebagai Suatu Sistem.Jakarta:Pusat Antar Universitas Untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Santosa, AM Rukky.2007.Brain Booster, the roadmap to success, menguak rahasia successful mechanism system.Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama..

Setiawan, Benni.2006.Manifesto Pendidikan di Indonesia.Yogyakarta:Ar-Ruzz.

Suhartono, Suparlan.2006.Fisalfat Pendidikan.Jogjakarta:Ar-Ruzz.

Takeshita, Masataka.2005.Manusia Sempurna menurut konsepsi Ibn. ‘Arabi.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.”

Tafsir Ahmad.2003.Filsafat Umum, akal dan hati sejak Thales sampai Capra.Bandung:PT Remaja Rosdakarya.

Winataputra, Udin S.2001.Model-Model Pembelajaran Inovatif. Jakarta:Pusat Antar Universitas Untuk Peningkatan dan Pengembangan Aktivitas Instruksional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Tidak ada komentar: