Selasa, 25 Mei 2010

HUSNIZAR HOOD : Jual Koyo, Jual Diri, Terjual Negeri

Jual Koyo, Jual Diri, Terjual Negeri
 PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Redaksi , Minggu, 07 Maret 2010 08:29

Kolom: Hoesnizar Hood

SAYA tak tahu. saya yakin kawan saya juga pasti tak tahu, apakah sekarang koyo atau kami selalu menyebutnya dengan “koyok” masih laku keras di pasaran, maksudnya masih banyak masyarakat yang membeli. Kalau dulu ketika masih di kampung dan indahnya masa kecil, saya tahu obat ”sakti” itu memang sangat luar biasa lakunya. Selain koyok obat buatan china itu berada di rangking pertama tentulah pil APC yang jadi penawar sakit yang sungguh luar biasa.

Pemandangan pipi ditempel koyok tanda sakit gigi, pelipis kiri kanan ditempel koyok tanda kepala pusing kemudian pinggang, perut, kaki dan tangan ditempel koyok sesuatu yang biasa. Bukan satu, kadang dua sekaligus si koyok ditempel di bagian-bagian tubuh mereka. “Biar cepat sembuh”, katanya. Percaya atau tidak percaya, suka atau tidak suka, ketika itu penjualan koyok tetap berada diatas rata-rata, itu berarti masyarakat percaya untuk menggunakannya. Kalau tak percaya siapa pula yang mau membelinya?

“Jangan jual koyok”, sergah Mahmud kepada saya. Sekejap saya terdiam mendengar kalimat yang diucapkannya. Padahal baru saja saya ingin menceritakan kepadanya tentang benda mujarab itu atau paling tidak cerita saya ini bisa kembali akan mengingatkannya kisah kenangan masa lalu. Masih ingat? Ya, benda itu terbuat dari kain bercampur karet dan memiliki perekat dengan ukuran tak lebih dari 6 x 6 centimeter berwarna putih. Itulah koyok dan jika ditempel di bagian tubuh kita akan terasa dingin atau bukan rasa digin sebenarnya, tapi panas yang memberikan angin atau menthol istilah orang kampung saya.

“Siapa yang nak dikoyok?”, jawab saya kepada Mahmud. Kawan saya itu mengangkat bahunya sambil mencibirkan bibirnya. Saya tahu apa yang ada dalam pikirannya. Kemarin dia pernah mengatakan “Orang kita itu paling pandai jual koyok tapi paling mudah juga dikoyok orang”. Dibengak-bengak orang, dijanji-janji orang. Konon kalau nanti si anu yang memimpin akan sejahtera hidup, kalau si anu memimpin akan meneruskan pembangunan yang ada dan kalau si anu memimpin dia adalah simbol marwah negeri. “Dan budak-budak di kampung kita tu Tok, mendengarnya terharu, sampai menitikkan air mata”, cerita Mahmud. “Menagis kenapa Mud?”, Tanya saya. “Lapar, rupanya tak ada makan nasi, cuma epok-epok yang dihidangkan waktu mereka berkunjung ke kampong kita”.

Saya menggaruk-garuk kepala, di dalam bayangan saya nampak ada seseorang yang berbuih-buih mulutnya bersilat lidah dari hulu ke hilir menceritakan kehebatannya dan mencoba meyakinkan orang-orang. Ya, orang yang jadi lawan bicaranya, dan tentulah orang yang jadi lawan bicaranya itu sampai ternganga-nganga mendengar kehebatannya. Ah, dari mana pulalah datang istilah “jual koyok” itu, pikir saya. Istilah yang diungkapkan Mahmud tadi. Yang dipekikkannya kepada saya. Seingat saya seumur hidup saya tak pernah berjualan koyok kalau memakainya memang pernah dan bukan hanya sekali tapi sudah berkali-kali, terutama ketika sakit gigi, ia melintang di pipi.

Istilah itu saya pikir muncul karena koyok itu dianggap bisa menyembuhkan segala macam hal, segala macam penyakit, katakanlah seperti orang “jual obat” yang menawarkan satu jenis obat tapi bisa menyembuhkan seribu penyakit. Mana bisa? Karena itulah muncul “jual koyok”, menjual sesuatu yang dianggap mampu menyelesaikan permasalahan yang ada.

“Betul”, kata Mahmud. “jual koyok tu, jual cerita yang tak betul, seolah-olah dia saja yang hebat, dia saja yang benar, dia saja yang baik”, tambah Mahmud, mempertegas apa yang saya pikirkan tentang istilah jual koyok itu. Kalau begitu suailah apa yang saya pikirkan dengan apa yang kawan saya itu pikirkan juga. Memikirkan tentang siapa si penjual koyok itu. Sesuai juga dengan apa yang kawan saya katakan bahwa orang kita ini paling pandai jual koyok tapi paling mudah juga dikoyok oleh orang lain.

Seperti musim panas yang sekarang ini sedang kita rasakan. Panas karena memang hujan sudah lama tak turun-turun. Panas karena para penjual koyok itu kembali lagi hadir dengan wajah yang lebih santun. Santun yang dibuat-buat. Gambarnya bermunculan di sepanjang jalan, tertempel di dinding-dinding, di kedai-kedai, di tiang-tiang listrik dan dimana-mana saja yang ada ruang pasti mereka para tim sukses akan menempelnya. Mungkin seperti menempel koyok itu juga, soal sakitnya apa, diagnosanya apa yang penting koyok menjadi langkah penyelamatan pertama.

“Yang menempel itu penjual koyok juga, Mud”, berjam-jam mereka menceritakan kehebatan gambar orang yang ditempelnya itu, padahal kita tahu ada yang sudah 5 tahun lalu berkuasa, tak jelas juga apa yang dibuatnya. Seperti tak tahu atau pura-pura tak tahu bahwa selama ini ada kekuasaan di tangannya, atau itu adalah kekuasaan semu. Kekuasaan yang ada di tangan tapi tak berdaya untuk menggunakan, tak ada keberanian. Ada juga yang haus kuasa, begitu bernafsu, padahal dalam pikiran saya dan juga Mahmud, buat apa sih kekuasaan? Kalau ujungnya adalah penderitaan, kalau ujungnya kita mesti harus merasa terzalimi dan dizalimi oleh orang lain kemudian kita pula ingin menzalimi orang lain itu.

“Ssst!, tak usahlah kita pakai istilah kata-kata itu, ngeri mendengarkannya”, ujar Mahmud. “Ini negeri yang bermartabat. Tak ada orang di sini yang mau zalim menzalimi hanya karena kekuasaan. Bukankah sejarah menulis bahwa orang Melayu itu paling rela memberikan kekuasaannya kepada orang lain selagi itu untuk kepentingan negerinya”, tambah Mahmud lagi.

Tapi susah juga hendak mengatakan perihal “bermartabat” itu. Orang-orang kini lebih memilih untuk berpikir yang penting menang daripada berpikir apa yang harus dimenangkan. Hari ini pastilah di dalam bayangan para calon gubernur negeri ini yang kemarin sudah mendaftarkan diri sampai pada batas waktu terakhir dengan berbagai cara perjuangan mereka mendapatkan partai-partai pendukungnya bahwa mereka akan menang dan begitu juga para pengusungnya bahwa mereka juga yakin akan menang. Tak ada seorangpun yang berpikir kalah, kecuali dia yang memang dibayar untuk hanya mendampingi pencalonan takut kalau-kalau tak cukup calonnya.

Bukan hanya kemenangan pribadi tapi ada banyak yang harus dimenangkan dalam pertarungan ini nanti. “Kemenangan negeri ini, itu yang paling utama, Tok. Bahwa kemenangan kita dari “menjual diri” dan “dibeli” oleh masyarakat banyak karena ada rasa kepercayaan mereka dan amanah yang diberikan oleh mereka kepada kita. Karena itulah orang-orang yang akan “menjual diri” itu harus bergegas menyampaikan kepada para “pembeli” mereka yakni masyarakat bahwa mereka adalah seuatu yang pantas dihargai karena memiliki kemampuan dan kesepahaman terhadap tanggung jawab membangun negeri ini.”

“Kalau tidak terjual negeri ini, Tok”, keluh Mahmud, suaranya agak merendah, saya agak terenyuh juga mendengar keluh Mahmud itu. Biasanya kawan saya itu garang, apalagi kalau ada orang yang mau menggadai negeri ini, Tapi kali ini tidak, dia malah merendah. Padahal menurutnya jika tersilap langkah, para penjual koyok itu bisa meninabobokkan kawan-kawan kita yang berada di segala penjuru kampung yang ada. Alamat terjual negeri ini.

“Siapa yang akan peduli, Mud? Kalau bukan awak siapa lagi?”. Hati saya sebenarnya bimbang juga melihat kenyataan yang ada. Tapi itulah politik, kita biasanya hanya bersatu ketika nasib kita susah, hidup papa kedana tapi ketika nasib sudah membaik dan harta sudah mengeliligi kita, mulailah kita bertelagah di antara kita sesama. Kita biasanya tak sanggup membeli tapi kalau terpaksa mengganti kita berjuang setengah mati. Kita biasanya mengukur sesuatu yang kecil dan kita melihat kita besar di situ Tetapi ketika berada dalam sesuatu yang besar kita tak mau mengakuinya bahwa kita begitu kecil berada disitu. Kita meyakini bahwa kita bisa berbuat apa saja yang dinginkan rakyat, kita bisa menjadi penawar duka hati rakyat, menjadi pelipur lara rakyat, menjadi dewa penolong rakyat.

Seperti koyok tadi, yang bisa mengobati apa saja yang sebenarnya kita sendiri yang mengatakan bisa. Lalu kita menempelnya selembar di kening untuk menghilang pening, kita terlelap dan bermimpi bertemu dengan seorang bidadari dan ketika terbangun kita menganggap koyok itu juga yang telah mempertemukannya. Anda mau koyok ? Saya ada tiga, mungkin juga empat, atau ambillah semuanya. ***

Tidak ada komentar: