Minggu, 19 Juli 2009

Partai Politik Usai Pemilu

Partai Politik Usai Pemilu


Philips J. Vermonte

Pemilu presiden dan pemilihan legislatif sudah selesai diselenggarakan. Ingar-bingar kampanye sudah surut, saatnya memikirkan apa yang bisa kita pikirkan tentang keseluruhan sistem politik dan sistem pemilu kita.

Mari kita tengok hasil pemilu lalu: dari 38 partai politik yang bertarung dalam pemilu legislatif tersebut, hanya sembilan partai yang mampu melampaui angka 2,5 persen untuk memenuhi parliamentary threshold. Partai Demokrat yang memperoleh suara terbanyak sebesar kurang lebih 20 persen suara diyakini lebih mengandalkan popularitas patron utamanya, ketimbang tawaran programatik dan ideologisnya ataupun kinerja mesin partai. Singkat kata, parpol kita selama ini relatif gagal menjalankan fungsi-fungsinya. Walaupun benar bahwa parpol melakukan aktivitas bersifat election-related, tetapi sejatinya parpol kita tidak mampu menjalankan fungsi yang lebih luas.

Dilihat dari fungsinya, terdapat kenyataan bahwa parpol di Indonesia menghadapi kesulitan menjalankan fungsi utama dalam mengagregasi dan mengartikulasikan kepentingan, melakukan rekrutmen politik, dan melakukan pendidikan politik untuk semakin menguatkan kultur demokrasi dalam sistem politik di Indonesia. Pemilu Legislatif 2009 yang baru lalu bisa dijadikan indikasi. Misalnya, jumlah orang yang datang TPS (voter turnout) pada pemilu legislatif tercatat rendah.

Selain itu, partai-partai tradisional mengalami penurunan dukungan elektoral yang cukup signifikan. Ditambah lagi dengan konflik-konflik internal yang dialami beberapa partai politik sebelum pemilu. Ini mencerminkan soliditas internal parpol yang rendah saat struktur organisasi partai tidak mampu menyelesaikan perbedaan dan mencegah terbentuknya sempalan (splinter groups) yang pada akhirnya memengaruhi kinerja elektoral.

Pemilu langsung untuk anggota legislatif menyebabkan keadaan ketika parpol menjadi tidak relevan karena para caleg melihat parpolnya sebagai hal yang tidak relevan dan memilih membangun sendiri mesin politik untuk memenangkan pencalonannya. Pada pemilu presiden yang lalu pun kita bisa melihat bahwa para kandidat lebih mengandalkan pencitraan ketimbang bekerja nya mesin-mesin parpol di daerah untuk memenangkan pemilu.

Partai politik adalah tulang punggung dari keberlangsungan sebuah sistem politik yang demokratis. Sementara, dalam konteks Indonesia, parpol tetap menjadi institusi politik yang belum mengalami reformasi berarti kendati proses demokratisasi di Indonesia dimulai pada 1998.

Sebagaimana diidentifikasi oleh Bozoki (2002), partai-partai politik modern di berbagai tempat di dunia sebenarnya menghadapi beberapa masalah cukup pelik. Beberapa masalah tersebut, bila ditelusuri lebih jauh, menunjukkan kaitan erat dengan kinerja dan struktur internal partai-partai tersebut. Masalah pertama adalah merosotnya keanggotaan partai yang merupakan indikasi tengah berubahnya lingkungan tempat partai politik ini bekerja.

Dalam konteks transisi menuju demokrasi, misalnya, penurunan keanggotaan parpol antara lain disebabkan semakin diterimanya bentuk-bentuk partisipasi lain seperti aktivitas unjuk rasa yang dikelola kelompok-kelompok nonparpol. Kebebasan pers yang memungkinkan tersedianya beragam medium informasi juga mengurangi insentif bagi partai politik untuk merekrut anggota. Penggunaan media, cetak dan elektronik, dalam kampanye mengurangi kebutuhan bagi tersedianya anggota partai politik untuk menjalankan kampanye ‘tradisional’ door-to-door yang mengandalkan pada peran anggota dan relawan.

Hal lain yang berhubungan dengan keanggotaan dan pada akhirnya perilaku parpol di Indonesia adalah permasalahan pendanaan. Parpol yang mengandalkan sedikit dana pemerintah menjelang pemilu dan juga sumber-sumber dana dengan bergantung pada kekuasaan menyebabkan tidak adanya dorongan untuk memelihara basis keanggotaan parpol yang luas untuk mengumpulkan dana dari iuran keanggotaan.

Muara dari semua persoalan yang saling mengait ini adalah tidak adanya insentif bagi parpol untuk mengorganisasi kegiatan reguler dari dan untuk anggotanya, sehingga aktivitas parpol hanya berkait atau berdekatan dengan pemilu. Karena itu, fungsi-fungsi parpol sebagaimana diuraikan di atas terabaikan.

Di samping itu, ketiadaan pendanaan yang berbasis dari keanggotaan ini mempengaruhi kinerja parpol secara organisasi. Ketiadaan dana yang bersifat bottom-up menyebabkan parpol sering kali harus bergantung pada figur-figur yang telah mengakumulasi kekuasaan dan kekayaan untuk menjadi pemimpinnya. Sehingga, figur pemimpin partai seringkali menjadi lebih penting daripada kinerja organisasi yang lebih sehat. Dengan kata lain, parpol seringkali menjadi subordinat dari para pemimpinnya. Partai Demokrat tanpa SBY, misalnya, tak akan memperoleh hasil sebagaimana dicapai dalam Pemilu 2009.

Keadaan ini diperburuk oleh beberapa tren yang menghinggapi parpol di Indonesia. Pertama, secara internal parpol cenderung dikelola secara top-down dan sentralistik. Kedua, parpol cenderung berfokus pada usaha-usaha mengamankan sumber-sumber ekonomi yang dikelola negara untuk membiayai dirinya tanpa memiliki visi yang jelas untuk mengelola berbagai persoalan negara. Akibatnya, parpol menjadi bagian, dan bukan solusi, dari berbagai persoalan yang menyangkut birokrasi dan usaha pemberantasan korupsi.

Ketiga, sebagai akibat dari tren nomor dua, parpol gagal membangun citra sebagai institusi politik yang kredibel di mata publik. Parpol sering dilihat sebagai salah satu institusi paling korup yang berujung pada terbentuknya sikap “antipartai” di masyarakat. Akibatnya, parpol kehilangan legitimasi sebagai institusi politik yang seharusnya menjadi saluran agregasi kepentingan masyarakat menuju para pengambil keputusan.

Berdasarkan uraian di atas, muncul kebutuhan untuk menilai kekuatan organisasional partai politik (party organizational strength) untuk bisa merumuskan peluang-peluang untuk mereformasi parpol agar fungsinya sebagai tulang punggung dari sistem politik yang demokratis bisa berjalan optimal.

Dengan kata lain, berkaca dari pemilu legislatif dan pemilu presiden yang baru lalu, kita membutuhkan partai-partai yang "kuat". Sebuah partai yang kuat, sebagaimana dikemukakan oleh Robert J. Huckshorn (1986), bisa ditentukan melalui setidaknya oleh keberadaan dua faktor:

Pertama, parpol tersebut harus memiliki organisasi yang kompleks (organizational complexity) namun fungsional. Organisasi ini diperlukan untuk menjalankan tugas-tugas kompleks yang membutuhkan birokrasi yang disusun untuk menjalankan kewajiban-kewajiban, tugas dan kegiatan-kegiatan yang dirumuskan dengan jelas. Dengan demikian, interaksi di dalam partai politik akan menjadi stabil dan terformalisasi. Karena itu, parpol akan mengandalkan pada institusi ketimbang karisma figur pemimpinnya.

Kedua, tersedianya kemampuan membangun program untuk membentuk dan berinteraksi dengan konstituen, memperluas basis dukungan, dan mencegah faksionalisasi internal. Hal ini tidak hanya diperlukan pada saat pemilu, tetapi justru diperlukan di masa-masa setelah pemilu ketika sesungguhnya parpol harus lebih banyak menjalankan peran.

Kedua faktor di atas pada akhirnya berkait dengan persoalan bagaimana parpol mendanai dirinya. Birokrasi yang kompleks dan program yang terstruktur menimbulkan persoalan pendanaan. Berkaitan dengan hal ini ada beberapa hal yang penting untuk diperhatikan dan dicarikan pemecahannya.

  1. Pengeluaran parpol akan melampaui pendapatan legal-nya. Biaya kampanye semakin mahal. Selain itu, agar parpol bisa menjalankan fungsinya dengan baik, pengeluaran non-election juga akan meningkat.
  2. Korupsi. Bila kegiatan partai semakin kompleks, kebutuhan pendanaan akan meningkat baik pendanaan untuk kegiatan election-related, atau non election-related. Pada sisi ini, aturan-aturan mengenai dana bagi partai politik dan pemilu tidak optimal.
  3. Parpol menjauh dari masyakarat dan semakin bergantung pada negara. Menjauhnya parpol dari masyarakat disebabkan menurunnya minat masyarakat untuk menjadi anggota partai politik. Sebaliknya, menurunnya minat masyakarat untuk menjadi anggota bisa pula disebabkan persepsi bahwa parpol semakin menjauhi masyarakat dan gagal membangun konstituen, serta lebih mengandalkan bantuan negara dan juga bisnis-bisnis besar untuk pendanaannya.

Karena itu, ada agenda besar dalam lima tahun ke depan yakni memperbaiki performa partai politik di Indonesia agar mereka bisa menjalankan fungsi-fungsinya sebagai sokoguru demokrasi di Indonesia. Jalan yang ditempuh bisa melalui proses legislasi mengenai partai politik oleh DPR yang baru dan juga melalui inisiatif internal masing-masing parpol untuk beradaptasi dengan lingkungan politik yang telah berubah.


Philips J. Vermonte adalah peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta dan kandidat doktor ilmu politik di Northern Illinois University, AS.

Tidak ada komentar: